Senin, 27 Desember 2010

Diskursus Metodologi Dalam Ilmu-Ilmu Sosial

There are three main paradigms in social science; positivism, humanism and critical social science. Each social science paradigm has its own root, history and interest. This is important to chart and explore how each paradigm grows up and debate their methodology. Often in our academical sphere, we find many students have a problem with it. They do not understand well regarding with the debate of social science methodology however to understand it will help them to achieve social theory deeply. It implies to their ability in using of social theory in their research (graduating paper). This paper really tries to be an introduction in the debate of methodology of social science for our academical sphere.
Pengantar
Beberapa ilmuwan sosial kontemporer telah melakukan pemetaan terhadap aliran-aliran ilmu sosial dan perdebatan metodologinya. George Ritzer dalam bukunya Modern Sociological Theory (1996: 505-506) membagi sosiologi menjadi tiga paradigma; paradigma fakta sosial (the social-facts paradigm) yang merupakan jalur positivisme Emile Durkheim dan perkembangan teorinya mempengaruhi fungsional struktural Talcot Parson dan aliran konflik struktural dari Ralf Dahrendorf sampai Lewis Coser. Kedua paradigma definisi sosial (the social-definition paradigm) dengan Max Weber sebagai tokohnya dan perkembangan teorinya adalah fenomenologi, interaksionisme simbolis maupun etnometodologi. Ketiga adalah paradigma perilaku sosial (the social behaviour paradigm) yang lebih merupakan teori psikologis yang dibidani oleh B.F. Skiner. Ilmuwan sosial Jerman dari madzab kritis, yaitu Habermas membagi aliran teori melalui kepentingannya (Hardiman, 1990: 127-145), yaitu kepentingan teknis ilmu-ilmu empiris analitis atau (positivisme), kepentingan praktis ilmu-ilmu Historis hermeneutis (humanisme), dan kepentingan emansipatoris ilmu-ilmu kritis. Ketiga model ilmu ini merupakan hasil proses gejolak filsafat pengetahuan sampai abad ke- 20. Pembagian aliran ilmu sosial versi Habermas ini tampaknya lebih tepat untuk memperbincangkan perkembangan ilmu sosial. Sehingga dalam tulisan sederhana tentang diskursus metodologi ilmu-ilmu sosial ini akan mengacu pada pembagian yang dilakukan oleh Habermas.
Awalnya adalah Saintisme Ilmu Sosial
Filsafat modern berkembang melalui dua aliran, pertama dibidani oleh Plato yang mengutamakan kekuatan rasio manusia, dimana pengetahuan murni dianggap dapat diperoleh melalui rasio itu sendiri (Apriori). Kedua adalah Aristoteles yang memperhatikan peranan empiris terhadap obyek pengetahuan (aposteriori). Selanjutnya masing-masing melahirkan penerus, rasio didukung oleh Rene Descartes, Malebrace, Spinoza, Leibnis, dan Wolff. Filsafat Empirisme berkembang di tangan Hobbes, Locke, Berkely, dan Hume (Hardiman, 1990). Ilmu alam berkembang melalui empirisme dan rasionalisme itu, dengan mengambil sikap teoritis murni ilmu alam dapat melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan. Filsafat semakin kuat mendapat pondasi positivismenya dalam ilmu sosial melalui Aguste Comte (1798-1857), yang sebagian kalangan menobatkannya sebagai penghulu sosiologi karena temuannya dalam istilah ilmu sosiologi. Positivisme ilmu sosial mengandaikan suatu ilmu yang bebas nilai, obyektif, terlepas dari praktik sosial dan moralitas. Semangat ini menyajikan pengetahuan yang universal, terlepas dari soal ruang dan waktu.
Positivisme merupakan usaha membersihkan pengetahuan dari kepentingan dan awal dari usaha pencapaian cita-cita memperoleh pengetahuan untuk pengetahuan, yaitu terpisahnya teori dari praksis. Dengan terpisahnya teori dari praksis, ilmu pengetahuan menjadi suci dan universal. Sosiologi Comte menandai postivisme awal dalam ilmu sosial, mengadopsi saintinsme ilmu alam yang menggunakan prosedur-prosedur metodologis ilmu alam dengan mengabaikan subyekitiftas, hasil penelitian dapat dirumuskan kedalam formulasi-formulasi (postulat) sebagaimana ilmu alam, ilmu sosial bersifat teknis, yaitu menyediakan ilmu-ilmu sosial yang bersifat instrumental murni dan bebas nilai.
Emile Durkheim (1858-1917), sang liberal dalam politik tetapi konservatif dalam intelektual, merupakan tokoh klasik sosiologi yang berpikiran positivis. Bagi Durkheim, fakta sosial (social fact) adalah landasan bagi ilmu sosial. Fakta sosial adalah kenyataan masyarakat yang tidak bisa disingkirkan adanya, dan tidak dapat direduksi menjadi fakta individu. Fakta sosial ini dapat diperoleh melalui penelitian empiris. Ia percaya bahwa ide-ide dapat diketahui secara instropectively (philosopicaly), tetapi benda tidak dapat disusun dengan aktifitas mental murni; mereka mengharuskan untuk konsepsi mereka “data dari luar pikiran” (Ritzer, 1996:185). Positivisme adalah kesadaran positivistis tentang kenyataan sebagaimana juga pengamatan oleh ilmu-ilmu alam. Pada filsafat abad ini pemikiran positivistis tampil dalam lingkungan Wina. Lingkungan Wina menolak pembedaan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial, menganggap pernyataan-pernyataan yang tak dapat diderivasikasikan, seperti etika, estetika, dan metafisika sebagai pernyataan-pernyataan yang tak bermakna atau nonsense, mempersatukan semua ilmu pengetahuan di dalam bahasa ilmiah yang universal, dan memandang tugas filsafat sebagai analisis kata-kata atau pernyataan-pernyataan. Dalam Dictionary of Philosophy and Religion (1980) W.L. Resee mendefisikan positivisme sebagai kerabat filsafat yang bercirikan metode evaluasi sains dan saintifik positif pada tingkat ekstrem. Sebagaimana layaknya sebuah sistem pemikiran positivisme pada dasarnya mempunyai pijakan; logiko empirisme, realitas obyektif, reduksionisme, determinisme, dan asumsi bebas nilai. 2]
Berlanjut ke Humanisme Ilmu Sosial
Margaret M. Poloma (1994: 10) dengan mengutip Cotton (1966) dan Wrong (1976) menjelaskan; Berbeda dengan sosiologi naturalistis atau positivis, sosiologi humanistis bertolak dari tiga isu penting. Pertama, tidak seperti sosiologi naturalistis, sosiologi humanistis menerima “pandangan common-sense tentang hakikat sifat manusia, dan mencoba menyesuaikan dan membangun dirinya di atas pandangan itu. Kedua, para ahli sosiologi humanis itu yakin bahwa pandangan “Common-sense” tersebut dapat dan harus diperlakukan sebagai premis dari mana penyempurnaan perumusan sosiologis berasal. Dengan demikian pembangunan teori dalam sosiologi bermula dari hal-hal yang kelihatannya jelas, ada dalam kehidupan sehari-hari dan umum. Ketiga, sosiologi humanis “mengetengahkan lebih banyak masalah kemanusiaan ketimbang usaha untuk menggunakan preskripsi metodologis yang bersumber dalam ilmu-ilmu alam untuk mempelajari masalah-masalah manusia”.
Humanisme ilmu sosial menolak positivisme yang mengambil alih metode ilmu alam kedalam ilmu sosial. Aliran ini menolak apa yang disebut sebagai fakta sosial, angka dari suatu rumusan umum, dan mengasumsikan masyarakat sebagai benda yang diamati (obyek). “Ada dunia subyektif yang mengikuti konteks dan proses historis tertentu. Epistemologi transendental Immanuel Kant yang menjelaskan refleksi atas syarat-syarat kemungkinan dari pengetahuan, perkataan dan tindakan kita sebagai subyek yang mengetahui, berbicara dan bertindak, dan bahwa dunia adalah suatu kebingungan dari kejadian-kejadian yang tak pernah diketahui arahnya. Dunia hanya dapat diketahui hanya melalui proses penyaringan, seleksi, dan pengkategorian kejadian-kejadian” (Ritzer, 1996: 25), kemudian melahirkan aliran Kantian yang menolak positivisme, seperti Max Weber dan W. Dilthey.
Max Weber (1864-1920), menurut Anthony Giddens (1985) dapat disebut yang mengawali aliran humanisme dalam sosiologi, mengakui bahwa ilmu-ilmu sosial harus berkaitan dengan fenomena ‘spiritual’ ‘atau’/ ‘ideal’, yang sesungguhnya merupakan ciri khas dari manusia, yang tidak ada dalam jangkauan bidang ilmu-ilmu alam. Pendekatan untuk ilmu sosial tidak seperti dalam tradisi positivisme yang mengasumsikan kehidupan sosial atau masyarakat selayaknya benda-benda, tetapi ia meletakkan pada realitas kesadaran manusia sehingga muncul usaha untuk memahami dan menafsirkan. Weber menekankan bahwa ‘dalam ilmu-ilmu pengetahuan sosial, kita berurusan dengan gejala-gejala jiwa yang “memahaminya” dengan sungguh-sungguh tentu saja merupakan suatu tugas dari suatu jenis yang khusus berbeda dari fenomena-fenomena yang bisa diterangkan atau diusahakan agar bisa diterangkan oleh rencana-rencana ilmu pengetahuan alam eksata pada umumnya (Giddens, 1985: 164-179). Weber selain mendekati ilmu sosiologi melalui konsep Kantian dia juga telah berusaha membuat garis hubung perdebatan antara positivisme dan humanis.
Selain Weber adalah Wilhelm Dilthey yang ikut menentang saintisme ilmu sosial. “Sebagaimana Wilhelm Dilthey juga ikut memberikan pijakan penting bagi aliran budaya, bahwa ilmu-ilmu budaya mengobyektivasikan pengalaman seutuh-utuhnya, tanpa pembatasan. Pengalaman-pengalaman ini lebih-lebih dialami dari dalam. Ilmu-ilmu budaya mentransposisikan pengalaman, yaitu memindahkan obyektivasi-obyektivasi mental kembali ke dalam pengalaman reproduktif, bermaksud membangkitkan kembali pengalaman-pengalaman secara sama. Sikap subyek dalam ilmu budaya adalah verstehen. Yang menjelaskan struktur simbolis atau makna. Dengan verstehen tidak ingin diterangkan hukum-hukum, melainkan ingin menemukan makna dari produk-produk manusiawi, seperti sejarah, masyarakat, candi, interaksi. Pengalaman, ekspresi, dan pemahaman adalah tiga pokok penting yang menurut Dilthey menjadi pokok kajian ilmu budaya” (Hardiman, 1990: 148).
Alfred Schuzt, di Austria, ikut meletakkan dasar terhadap aliran humanisme melalui fenomenologinya, baginya subyek matter sosiologi adalah melihat bagaimana cara manusia mengangkat, atau menciptakan, dunia kehidupan sehari-hari (Ritzer, 1996: 387), atau bagaimana manusia mengkonstruksi realitas sosial. Schuzt sendiri merupakan pelanjut pemikiran Edmund Husrell dan juga Weber, yang lebih dulu meletakkan dasar humanisme ilmu sosial. Pendekatan mereka mencirikan historisisme (Berger dan Luckmann, 1990: 10). Setelah Schuzt dengan fenomenologinya disusul oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman dengan sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge- wissenssoziologie) yang memperluas jangkauan fenomenologi, ada yang mengatakan sebagai usaha menjembatani antara yang positif dan humanis. Berger pun mengakui bahwa Dilthey dan Schuzt adalah yang mendahului sosiologi pengetahuan melalui historisme. Berger lebih diposisikan sebagai aliran humanis yang juga memanfaatkan pendekatan fakta sosial, “bahwa dalam karya-karya Berger jelas terlihat usaha untuk menjembatani yang makro dan mikro, bebas nilai dan sarat nilai, interaksionis dan strukturalis, maupun teoritis dan relevan” (Poloma, 1994: 303).
Aliran ilmu sosial humanistis memandang bahwa historis dan pemahaman terhadap dunia sosial, dunia sehaari-hari yang meliputi tindakan dan pemaknaan, bahasa, menjadi pijakan untuk melihat realitas sosial.
Disusul Ilmu Sosial Kritis
Tradisi ilmu sosial kritis adalah kelompok yang meyakini bahwa ilmuwan sosial mempunyai kewajiban moral mengajak dalam melakukan kritik masyarakat. Kepentingan teori sosial adalah emansipasi yang membebaskan masyarakat dari kekejaman struktur sosial menindas. Mereka menolak memisahkan analisis dari pertimbangan atau fakta dari nilai. “Teori Kritis hendak menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi-kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data empiris. Teori kritis juga bersifat historis dan tidak meninggalkan data yang diberikan oleh pengalaman kontekstual. Dengan demikian teori kritis nerupakan dialektika antara pengetahuan yang bersifat transendental dan yang bersifat empiris” (Hardiman, 1990: 30).
Aliran ilmu sosial kritis merupakan hasil dari usaha menemukan jalan keluar dari kebuntuan ilmu pengetahuan atau perdebatan antara positivisme dan humanisme ilmu sosial. “Mereka yang terlibat dalam aliran ini, pertama kali tokohnya adalah Felix Weil, Freiderick Pollock, Carl Grundenberg, Max Horkheimer, Karl Wittgovel, Henry Grossman, Adorno, Marcuse, dan kemudian yang membuka kebuntuan para pendahulunya adalah Juergen Habermas. Dari nama-nama ini yang merupakan madzab Frankurt adalah Horkheimer, Adorno, Marcuse, Pollock, dan Habermas. Habermas sendiri masuk dalam teori kritis kedua, dan yang lainnya teori kritis gelombang pertama” (Johnson, 1986: 166).
Tiga tema besar yang mewarnai seluruh madzab Frankurt adalah, pertama menetapkan kembali persoalan-persaoalan besar dalam filsafat melalui program penelitian interdisipliner, kedua menolak pandangan-pandangan Marxisme ortodoks, ketiga merumuskan teori masyarakat yang memungkinkan perubahan ekonomi, budaya, dan kesadaran atau dengan kata lain, menyusun teori dengan maksud praktis. Di sinilah secara epistemologi, aliran teori kritis berbeda dari positivisme dan humanisme (Hardiman, 1990: 43).
Semangat ini juga tumbuh di Amerika yang kemudian berkembang analisis kritis dari Charles W. Mills (1956), yang melakukan studi kritis terhadap struktur sosial Amerika. Dalam bukunya The Power Elite (1956). Mills memberikan kritik terhadap struktur sosial Amerika yang cenderung menindas masyarakat, melalui elit-elit berkuasa di sana. Analisis sosiologi Mills sebenarnya sering diposisikan sebagai aliran sosiologi skeptis karena ia tidak secara langsung memberikan identitas pemikirannya sebagai aliran kritis. Walaupun demikian pemikiran sosiologi Mills tepat untuk disebut sebagai Sosiologi kritik, dengan pengembangan analisis kritis terhadap struktur kekuasaan di Amerika mengenai kelompok-kelompok elit kekuasaan yang mendominasi masyarakat. Sosiolog terkemuka saat ini yang juga mengkritisi positivisme adalah Anthony Giddens di Inggris, walaupun juga melakukan kritik terhadap madzab kritis yang sesungguhnya masih menggunakan rasionalitas dalam istilah atau pengertian fungsionalisme struktural (Giddens, 1995).
Perdebatan Metodologi (Methondestreit)
Kita telah membahas secara singkat epistemologi teori ilmu sosial yang pada gilirannya telah mencabangkan ilmu sosial kedalam tiga ranah pemikiran utama; positivisme yang berkembang menjadi madzab analitis (empiris analitis), humanisme yang berkembang menjadi madzab historis heurmenetik, dan emansipatoris yang melahirkan tradisi ilmu sosial kritis. Tiga aliran dasar ini telah berangkat dari asumsi dasar—epistemologi yang berbeda. Pendekatan tiga aliran ini terhadap realitas sosial (masyarakat) berbeda-beda sehingga metode penelitian yang dikembangkannya pun berbeda.
Positivisme melalui karya-karya Emile Durkheim di Perancis meletakkan landasan metodologisnya secara kokoh sempurna. Dalam usahanya untuk mewujudkan kriteria ilmiah tentang patologi sosial dalam karya The Rule of Sociological Method “Durkheim mengakui bahwa identifikasi patologi di dalam sosiologi menghadapi masalah-masalah yang luar biasa sukarnya. Oleh karena itu dia berusaha untuk menerapkan ajaran metodologi yang sebelumnya pernah digunakan: apa yang normal di dalam bidang sosial bisa diidentifikasikan oleh ‘ciri-ciri khas eksternal yang dan nampak’ dari universalitas. Dengan kata-kata lain, normalitas dapat ditentukan (dengan cara permulaan), dengan mengacu pada meratanya, lazimnya fakta sosial di dalam bentuk masyarakat tertentu” (Giddens, 1985: 115). Metodologi positivistik ini mengalami perdebatan keras, terutama sekali dari aliran humanis yang tidak menyetujui ide mengadopsi metode ilmu alam kedalam ilmu sosial. Anthony Giddens (1976) menekankan bahwa bagi aliran humanis (interpretatif) dunia kehidupan sosial berbeda dengan dunia alam. Manusia adalah subyek yang aktif dalam dunia sehari-hari. Pada situasi ini, dunia sosial sangat bergantung terhadap proses aktivitas manusia. Hal ini sangat berbeda dengan pandangan positivisme yang meletakkan manusia sebagai obyek yang bisa generalisasikan.
Humanisme ilmu sosial dengan metode historis hermeneutis tidak memisahkan antara subyek dan obyek, sebagaimana saintisme melakukannya, fakta pada kebudayaan tampak pada kesadaran sebagai sesuatu yang datang dari dalam subyek sendiri dan pengalaman (erlebnis) menjadi penting. Verstehen dengan cara reproduksi pengalaman ini mengandaikan bahwa orang pada masa kini dapat berempati terhadap penghayatan orang-orang masa lampau, mereproduksi proses karya itu dibuat. Humanisme ilmu sosial, membangun teorinya melalui penjelasan dunia sehari-hari, dunia makna, proses sosial (historis) dan bahasa. Oleh karena itu hisotoris heurmenetik juga bersifat kontekstual mengingat sifat-sifat pengalaman, bahasa, dan makna sangat ditentukan oleh ranah-ranah kehidupan manusia yang terpisah-pisah.
Pada dasarnya perdebatan metodologi yang sangat seru terjadi di dunia intelektual Jerman yang paling awal terjadi dalam disiplin ilmu ekonomi antara tahun 1870 dan 1880-an, “antara Schomoller dan Carl Menger yang memperdebatkan ilmu ekonomi harus bekerja menurut metode eksata atau metode historis, metode deduktif atau induktif, dan metode abstrak atau empiris Pada perdebatan selanjutnya, ada Windleband dari neo-Kantilisme dan Rickert dari Madzab Barat Daya atau Madzab Baden yang seirus pada analisis budaya. Windleband membedakan nomothetic science dari idiographic sciences. Nomothetics menyelediki gejala-gejala pengalaman yang dapat diulangi terus menerus sehingga dihasilkan ilmu-ilmu nomotetis, sedangkan ilmu budaya meneliti peristiwa-peristiwa individual dan unik yang sekali terjadi yang kemudian disebut idiographics. Sedangkan bagi Rickert perbedaan itu ada pada relevansi nilai, ilmu budaya berusaha menemukan nilai, dan bukan hanya pada persoalan individu, sedangkan ilmu alam untuk menemukan hukum yang tidak memiliki relevansi nilai” (Hardiman, 1990: 26). Ilmu sosiologi kemudian mengikuti perdebatan ini sebagaimana disebutkan sebelumnya, yang tampaknya didominasi oleh positivisme atau nomothetic science yang telah beranak pinak menjadi teori-teori modernisasi yang bertanggung jawab terhadap situasi terakhir di bumi manusia ini.
Dari perdebatan antara nomothetic science (positivisme) dan idiographic science (humanisme) Max Weber, ada yang menyebutnya sebagai bapak sosiologi modern, memberikan niat baiknya dalam perdebatan metodologi di Jerman, yaitu mencari jalan keluar secara arif. Metode terhadap realitas sosial bagi Weber bisa didekati melalui prinsip bebas nilai (wertfreitheit-value free) sehingga dapat mengambil alih metode ilmu alam ke ilmu sosial (humaniora) dengan melakukan metode erklaeren (penjelasan) dan sekaligus menggunakan metode verstehen (interpretasi). Weber memandang bahwa “sosiologi itu berkaitan dengan perumusan dari prinsip-prinsip umum dan konsepsi-konsepsi jenis umum yang ada hubungannya dengan tindakan sosial; sebaliknya sejarah diarahkan ke analisis dan penjelasan sebab musabab dari tindakan-tindakan, struktur-struktur dan tokoh-tokoh yang khusus dan yang dalam segi budaya mempunyai arti penting. Di sini, Weber mengasumsikan bahwa ilmu sosial mengusahakan pemahaman dan untuk itu perlu melakukan pengertian (verstehen-understanding) tentang tindakan sosial dan menjelaskan sekaligus –erklaren” (Ritzer, 1996:223, Cambell, 1994). Di sini Weber tampak ambigu, tapi sesungguhnya dia ingin menjembati perdebatan akut antara saintisme dan humanisme ilmu sosial. Pada generasi abad ke-21 ini semangat Weber diteruskan oleh Peter L. Berger melalui sosiologi pengetahuannya.
Bagi aliran ilmu sosial kritis (Hardiman, 1990: 54-56): “metode posisitivisme atau tradisonal, melalui Horkheimer, bekerja melalu metode deduktif dan induktif yang disebut oleh Husrell sebagai sistem tertutup dari proposisi-proposisi bagi ilmu pengetahuan sebagai keseluruhan. Positivisme-teori tradisonal menurut Horkheimer menjadi ideologi dalam arti ketat; pertama teori tradisional mengandaikan bahwa pengetahuan manusia tidak menyejarah atau ahistoris dan karenanya teori-teori yang dihasilkannya ahistoris dan asosial. Kedua masyarakat sebagai obyek yang ingin diterangkan dalam teori harus sebagai fakta yang netral yang dapat dipelajari secara obyektif, sehingga menjadi netral. Ketiga teori dapat dipisahkan dari praksis. Seharusnya teori-teori mengenai masyarakat tidak bersifat netral, ahistoris dan lepas dari praksis, melainkan sebaliknya bersifat kritis.”
Seorang sosiolog lain yang saat ini popular melalui teori strukturasinya, Anthony Giddens di Inggris, sesungguhnya juga melakukan kritik terhadap positivisme. Giddens secara tegas menolak metodologi positivisme yang menyamakan ilmu sosial dengan ilmu alam karena realitas selalu bergerak dan berubah. Ia mengkritik positivisme “dalam ilmu-ilmu sosial tidak ada hukum universal, dan memang tidak ada, maka sebab metode-metode validasi dan pengujian empiris agak tidak memadai, demikian juga, sebagaimana yang telah saya kemukakan, kondisi kausal yang dilibatkan dalam generalisasi-generalisasi tentang perilaku sosial sifatnya tidak stabil, ditilik dari pengetahuan (keyakinan) yang dimiliki para aktor tentang keadaan tindakannya. Kenyatan-kenyataan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi, terutama bagi sosiologi, (tempat yang paling relevan) yang mempengaruhi pelaksanaan penelitan empiris dan perumusan penerimaan teori dan-teori. Ditilik dari penelitian, maksudnya adalah jauh lebih sulit dibandingkan dalam ilmu sosial ‘mendapatkan’ penerimaan teori-teori sembari mencari cara-cara mengujinya dengan tepat. Kehidupan sosial senantiasa bergerak; teori-teori yang menarik atau praktis, hipotesis-hipotesis atau temuan-temuan bisa diambil dalam kehidupan sosial sedemikian rupa sehingga dasar-dasar asli untuk melakukan pengujiannya juga otomatis berubah (Giddens, 1995: x-xii). Walaupun Giddens bukan sosiolog yang memasukkan dirinya dalam tradisi kritis tetapi kritik-kritik dan alternatif ilmu sosial darinya telah memungkinkan orang lain mengidentifikasi dirinya sebagai pelopor ilmu sosial kritis baru.
Secara umum tradisi ilmu sosial kritis menolak positivisme yang menyederhanakan fakta sosial kedalam bungkus rumus sekaligus telah mendirikan suatu pengetahuan teoritis yang tidak tersentuh oleh kritik dan kesalahan, yaitu ideologi. “Teori sosial kritis mendekonstruksi hukum besi kapitalisme, patriarki, rasisme dan dominasi atas alam, yang berpandangan bahwa positivisme telah membekukan fakta-fakta sosial ini kedalam nasib sosial yang telah ditakdirkan, yaitu dominasi. Teoritis kritis berpandangan bahwa positivisme tidak lagi semata-mata teori pengetahuan namun telah menjadi ideologi baru yang penting pada masa kapitalisme akhir yang mendukung penyesuaian dengan kehidupan sehari-hari. Ideologi ini telah dijalankan dengan sejumlah kategori epistemologis dan kultural yang sama sebagai sesuatu yang tak tergoyahkan” (Agger, 2003: 39).
Pada prinsipnya perdebatan antara positivisme (analitis empiris), humanisme (historis hermeneutik), dan kritis terletak pada cara menempatkan manusia dalam usaha ilmu sosial memahami realitas. Positivisme ilmu sosial (sosiologi) menggunakan metode deduktif-logis, hipotetis, dan matematis (dalam hal ini statistik), dalam metode penelitiannya. Positivisme “menyandarkan ada hubungan antar peubah (variabel) dan selalu mengajukan hipotesis penelitian” (Salim, 2001: 2). Metodologi positivisme ini telah melahirkan berbagai teori-teori modernisasi yang digunakan untuk kepentingan teknis pembangunan di dunia ketiga (negara berkembang). Tradisi positivisme menjadi dominan dalam proses perubahan sosial di dunia ini melalui metode-metode teknis mereka. Sehingga situasi saat ini, seperti kerusakan ekologis, kesenjangan sosial, kualitas kesejahteraan yang rendah dalam masyarakat, kerusuhan, dan berbagai masalah lainnya, merupakan akibat dari dominasi positivisme.
Sedangkan humanisme ilmu sosial menggunakan metode observasi partisipatif, deskriptif terhadap konteks sosial, dan interpretasi terhadap sejarah, pengalaman, bahasa dan tindakan. Metode humanisme ilmu sosial ini mampu mengungkapkan realitas dalam bentuk-bentuk ekspresi bahasa maupun tindakan sosial. Semangat penelitian dalam ilmu sosial humaniora ini memberikan gambaran dari realitas internal sehingga mampu menciptakan komunikasi intersubyektif. Misalnya untuk memahami apa arti kesejahteraan dan kualitasnya dari suatu masyarakat maka metode ilmu sosial humaniora dapat memberikan suatu deskripsi yang bisa digunakan untuk memahami kebutuhan. Sehingga kebijakan, misalnya pembangunan, dapat dilaksanakan dengan memperhatikan realitas masyarakat mengenai kualitas dan makna kesejahteraan. Jika pembangunan berhasil dalam menciptakan kualitas kesejahteraan masyarakat maka komunikasi intersubyektif telah berjalan antara masyarakat dan pemegang wewenang pembangunan. Tetapi jika pembangunan hanya menjadi cermin kebijakan dari atas semata (top down) dan menghasilkan permasalahan-permasalahan dalam pembangunan maka komunikasi telah terhambat dan terdistorsi.
Pada tradisi ilmu sosial kritis yang berangkat dari semangat emansipatorik dengan maksud melepas ketertindasan dari struktur yang ada maka “metode penelitian kritis berupaya mengungkap faktor-faktor politis dan ideologis apa yang menjadi penghambat komunikasi itu. Setelah mendeskripsikan problema struktural masyarakat, solusinya adalah perbincangan tentang bagaimana mewujudkan emansipasi dengan cara menghilangkan hambatan politis dan ideologis agar supaya aspirasi masyarakat dapat tertuang dalam program pembangunan. Status kognitif pendekatan kritis adalah phronesis, yaitu penilaian baik dan buruk bersadasarkan moral” (Nugroho, 2003). Dalam penelitian sosial, metode kritis menggunakan penelitian partisipatorik yang melibatkan peneliti tidak hanya untuk mendapatkan data dan menuliskan laporan tetapi ikut memberikan andil terhadap terciptanya strutktur bebas kekuasaan dalam bidang-bidang kehidupan sosial.
Penutup
Semangat tulisan pendek tentang diskursus metodologi ilmu-ilmu sosial ini adalah menjadi pemicu dalam situasi akademik saat ini. Sangat penting bagi siapapun yang mempelajari ilmu sosial, terutama mahasiswa yang belajar ilmu sosiologi, untuk memahami secara utuh persoalan-persoalan ilmu sosial. Banyak kasus yang terjadi di lingkungan kuliah, mahasiswa selalu mengalami kesulitan luar biasa dalam memilih metode. Seringkali mereka bahkan salah dalam memilih metode yang harus mereka ambil untuk penelitian. Hal ini tidak lepas dari lemahnya pemahaman teori dan metodologi sekaligus pengetahuan mereka mengenai perdebatan metodologi ilmu sosial. Padahal teori dan metodologi adalah syarat utama untuk menjadi seorang sosiolog (ilmuwan sosial).
Sesungguhnya setiap pemikiran ilmu sosial yang mengalami perdebatan itu mempunyai kapasitas dan tempatnya masing-masing dalam realitas sosial yang sedemikian luas dan kompleks. Perlu suatu kesempatan yang luas dan terbuka bagi mahasiswa untuk mengetahui hal ini tanpa kungkungan dominasi metodologi. Ruang yang luas itu mencakup; Pertama, ilmu sosial positivisme yang menggunakan metode empiris analitis dengan mencakup logika deduksi, teknik-teknik penelitian survai, stastitika dan berbagai teknis studi kuantitatif, perlu dijelaskan apa-apa yang menjadi kelebihannya sekaligus kekurangannya. Perspektif ini misalnya lebih mampu menggambarkan situasi umum yang bisa digunakan sebagai pertimbangan awal dari suatu langkah atau kebijakan. Kedua, humanisme ilmu sosial yang menggunakan studi kualitatif dan menekankan idiographic explanation (Babbie, 2003: 33) untuk metode penelitiannya mendapatkan tempat yang lebih longgar, tanpa situasi hegemonik. Studi kualitatif yang menggunakan metode historis hermeneutis dengan logika induktif, metode penelitian dalam studi kualitatif seperti perspektif fenomenologi, interaksionisme simbolik, etnometodologi, dan interpretasi. Ketiga, ilmu sosial kritis yang mencakup pendekatan emansipatorik, penelitian partisipatorik dan pendekatan metode kualitatif.
Tulisan ringkas ini semoga memberikan sedikit gairah bagi kita semua yang peduli terhadap persoalan dinamika intelektual di dalam ilmu sosial khususnya ilmu sosiologi. Sekali lagi, dominasi metodologis tidak bisa memberikan dinamika dan perkembangan ilmu sosial sehingga ruang yang bebas bagi perdebatan ilmu sosial harus dibuka lebar dan terfasilitasi.

Daftar Pustaka
Agger, Ben, 2003, Teori Sosial Kritis, Kritik, Penerapan dan Implikasinya, Kreasi Wacana, Yogyakarta
Babbie, Earl, 2003, The Practice of Sosial research, 9th edition, Wadsworth/Thompson Learning Inc, USA
Berger, Peter, dan, Luckman, Thommas, 1990, Tafsir Sosial Atas Kenyataan Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, LP3ES, Jakarta
Cambell, Tom, 1994, Tujuh Teori Sosial; Sketsa Penilaian Perbandingan, Kanisius, Yogyakarta
Gibbons, T., Michael, (ed), 2002, Tafsir Politik-Telaah Hermeneutis Wacana Sosial Politik Kontemporer, Qalam, Yogyakarta
Giddens, Anthony, 1986, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern; suatu analisis karya tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, UIP, Jakarta
Giddens, Anthony, 1995, The Constituent of Society: The Outline of the Theory of Structuration, Politiy Press Cambridge, UK.
Hardiman, Francisco, Budi, 1990, Kritik Ideologi-Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Johnson, Paul, Doyle, 1986, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, PT. Framedia, Jakarta
Manheim, Karl, 1991, Ideologi dan Utopia, Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, Kanisius, Yogyakarta
McQuarrie, Donald, 1995, Reading in Contemporary Sociological Theory from Modernity to Post-Modernity, Prentice Hall, inc., Englewood Cliffs, New Jersey.
Mills, Wright, C., 1956, The Power Elite, Oxford University Press, New York
Nugroho, Heru, 2003, Menumbuhkan Ide Ide Kritis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Ritzer, George, 1996, Modern Sociological Theory, The Mc Graw-Hill Companies, Inc., New York, USA
Salim, Said, 2001, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (dari Denzin Gobu dan Penerapannya), Tiara Wacana, Yogyakarta
Poloma, M, Margaret, 1994, Sosiologi Kontemporer, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, bekerja sama dengan Yayasan Solidaritas Gadjah Mada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar