Senin, 25 April 2011

LARANGAN AHMADIYAH OLEH PEMERINTAH PROVINSI PERSPEKTIF HUKUM OTONOMI DAERAH

Oleh : Moh. Saleh, SH., MH.

Terjadinya berbagai tindakan anarkhisme terhadap penganut Ahmadiyah oleh sebagian kalangan pemeluk agama Islam menyebabkan beberapa Pemerintah Propinsi mengeluarkan regulasi pelarangan terhadap ahmadiyah. Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengeluarkan regulasi dalam bentuk Surat Keputusan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Provinsi Banten dalam bentuk Peraturan Gubernur.
Segala tindakan Pemerintah Daerah (dalam hal ini Pemerintah Provinsi) haruslah didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), beserta perubahannya, sebagai pelaksanaan dari Sistem Pemerintahan Daerah yang diamanatkan oleh Pasal 18 – 18B UUD NRI 1945.
Sistem otonomi daerah dalam UU Pemda menerapkan sistem otonomi formil, bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah adalah di luar urusan pemerintahan yang terlebih dahulu telah ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Winarno Surya Adisubrata, 1999 : 1-2).
Beberapa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat (3) UU Pemda, yaitu “Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah meliputi a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama”. Berdasarkan UU Pemda ini berarti urusan agama merupakan urusan pemerintahan yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat. Hal ini menujukkan bahwa pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap kehidupan dan kebebasan beragama merupakan wewenang Pemerintah Pusat yang tidak didesentrasikan atau didekonsentrasikan kepada Pemerintah Provinsi.
lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Pnps Tahun 1965 Tentang Penyalahguanaan dan/atau Penodaan Agama dan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Kejaksaan Agung dapat dinyatakan sesuai dengan prinsip hukum apabila mendasarkan pada sistem otonomi daerah yang diterapkan dalam UU Pemda, bahwa urusan agama merupakan wewenang Pemerintah Pusat. Keterlibatan negara dalam urusan agama ini dianggap sah sepanjang tidak ikut campur dalam masalah keyakinan keagamaan. Keterlibatan negara dalam urusan agama ini hanya sebatas pada fungsi menciptakan ketertiban dan ketentraman kehidupan beragama dan kerukunan antar ummat agama. Fungsi Negara dalam urusan agama ini dibatasi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945.
Berdasarkan sistem otonomi daerah yang dianut dalam UU Pemda inilah, maka sebenarnya Pemerintah Provinsi tidak berwenang untuk mengatur, membina dan mengawasi urusan agama. Lahirnya Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur dan Peraturan Gubernur Jawa Banar serta Peraturan Gubernur Banten dapat dikatakan bertentangan dengan sistem otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UU  Pemda. Urusan agama yang merupakan urusan Pemerintah Pusat secara jelas dalam UU Pemda tidak didesentrasikan ataupun didekonsentrasikan kepada Pemerintah Provinsi.
Adanya kontradiksi yuridis Lahirnya Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur dan Peraturan Gubernur Jawa Barat serta Peraturan Gubernur Banten dengan UU Pemda berimplikasi yuridis bahwa Surat Keputusan Gubernur maupun Peraturan Gubernur ini tidak bisa mendasarkan berlakunya pada UU Nomor 1 Pnps Tahun 1965 dan SKB tiga Menteri sebagaimana dinyatakan dalam masing-masing konsideran hukumnya. Pencantuman konsideran hukum terhadap UU Nomor 1 Pnps Tahun 1965 dan SKB tiga Menteri dapat dikatakan salah alamat atau tidak benar.
Dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pemda dinyatakan bahwa "Pemerintah Provinsi mempunyai wewenang dalam hal penyelenggaraan ketertiban dan ketentraman masyarakat“. Ketentuan ini sebenarnya dapat dijadikan dasar yuridis oleh Pemerintah Pronvinsi untuk mengatur ketertiban masyarakat di daerah provinsi akibat adanya potensi atau tindakan anarkisme terhadap jamaat Ahmadiyah tanpa memasuki ranah urusan keagamaaan yang merupakan urusan Pemerintah Pusat.
Apabila pelarangan Ahmadiyah di Daerah Provinsi memang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat, maka sebenarnya Pemerintah Provinsi masih mempunyai ruang yuridis untuk mengatur dan mengawasi pelaksanaan ketertiban dan ketentraman masyarakat terkait dengan adanya tindakan atau potensi tindakan anarkhisme terhadap jamaat Ahmadiyah di Daerah Provinsi ini berdasarkan Pasal 13 ayat (1) hurur C UU Pemda.
Pengaturan mengenai penyelenggaraan ketertiban dan ketentraman masyarakat ini merupakan pelaksanaan dari asas desentralisasi sehingga tidak bisa apabila diatur melalui Surat Keputusan Gubernur atau Peraturan Gubernur, akan tetapi harus diatur melalui Peraturan Daerah yang dibahas bersama dengan DPRD sebagai lembaga yang mewakili aspirasi dari masyarakat Daerah Provinsi secara keseluruhan. Surat Keputusan Gubernur atau Peraturan Gubernur ini hanyalah sebagai aturan pelaksanaan dan kedudukannya akan diakui serta mempunyai kekuatan hukum mengikat jika diperintahkan melalui Peraturan Daerah atau Peraturan di atasnya (Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
Berdasarkan analisis yuridis mengenai pelarangan Ahmadiyah inilah, maka dapat dikatakan bahwa Pemerintah Provinsi mempunyai wewenang untuk mengatur masalah ketertiban dan ketentraman masyarakat untuk mencegah tindakan anarkhisme terhadap jamaat ahmadiyah tanpa menyentuh urusan keagamaan yang merupakan ranah wewenang Pemerintah Pusat.
Lahirnya Surat Keputusan Gubernur dan Peraturan Gubernur Jawa Barat dan Peraturan Gubernur Banten dapat dikatakan bertentangan dengan sistem otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UU Pemda, apalagi dalam Konsideran hukumnya pemberlakukan Surat Keputusan dan Peraturan Gubernur tersebut didasarkan pada UU No. 1 Pnps tahun 1965 dan SKB tiga Menteri, tambah salah alamat.
Untuk mencegah terjadinya anarkhisme terhadap jamaat Ahmadiyah, Pemerintah Provinsi dapat mengaturnya melalui Peraturan Daerah Provinsi dengan mendasarkan pemberlakuannya terhadap UU Pemerintahan Daerah, tanpa memasuki ranah urusan keagamaan yang merupakan ranah wewenang Pemerintah Pusat. Bahkan menurut UU Pemda, Pemerintah Kabupaten dan Kota juga dapat mengaturnya juga untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat di daerah kabupaten atau kota melalui Peraturan Kebupaten atau kota sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf c UU Pemda.

Selasa, 22 Maret 2011

PEDOMAN PENULISAN RESUME SKRIPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA


I.      BAGIAN AWAL
A.   COVER DEPAN
Confoh format cover ini dapat dilihat pada Lampiran 1.
B.   LEMBAR PENGESAHAN
Confoh format Lembar Pengesahan ini dapat dilihat pada Lampiran 2.
C.   ABSTRAK
Abstrak merupakan ide pokok atau intisari dari keseluruhan tulisan. Abstrak ini hanya terdiri dari satu paragraf. Untuk mempermudah memahami maka harus dibuatkan kata kunci yang terdiri dari maksimal 5 (lima) kata atau suku kata. Kata Kunci ini dibuat dari yang umum kepada yang lebih khusus, contoh : Hukum dan HAM, Hukum Pidana, Pidana Mati.

II.    BAGIAN ISI
  1. PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang Masalah
2.    Rumusan Masalah
3.    Tujuan Penulisan
4.    Metode Penulisan
  1. PEMBAHASAN
  2. PENUTUP
1.    Kesimpulan
2.    Saran

III. BAGIAN AKHIR
A.   DAFTAR BACAAN
B.   LAMPIRAN (kalau ada)

III.   FORMAT PENULISAN
  1. Jumlah halaman minimal 20 dan maksimal 25 yang dihitung dari bagian awal sampai bagian akhir.
  2. Menggunakan kertas A4 dengan ukuran margin atas 3 cm, bawah 3 cm, kanan 3 cm dan kiri 4 cm.
  3. Penulisan resume ini berspasi 1 (satu) dan menggunakan bentuk huruf arial berukuran 12.
  4. Judul dan bab ditulis dengan huruf besar (kapital). Untuk sub bab pada setiap huruf awalan kata saja yang ditulis dengan huruf besar (kapital).
  5. Judul, bab dan sub bab ditulis dengan huruf tebal. Adapun rincian dari sub bab ditulis dengan huruf biasa dan hanya huruf pertama yang menggunakan huruf besar. Format dan urutannya sebagai berikut :

A. BAB
     1. Sub Bab
         a. Sub sub bab
             1)……………
                 a)………..
                     (1)…….
                          (a)…
     2. Sub Bab
B. BAB
     1. Sub Bab
         a. Sub sub bab
             1)…………..
                 a)………..
(1)…….
     (a)…
     2. Sub Bab
C. BAB
     1. Sub Bab
         a. Sub sub bab
             1)…………..
                 a)………..
           (1)…….
                          (a)…
     2. Sub Bab

  1. Dalam setiap paragraf harus berbentuk alinea berjarak  1,1 cm atau pada pengetikan karakter yang kesepuluh dari batas tepi kiri.
  2. Nomor halaman diletakkan pada bagian bawah kanan.
  3. Penulisan huruf miring hanya digunakan pada :
a.    Kata-kata asing
Contoh : Negara Indonesia menggunakan civil law sytem.
b.    Judul buku atau majalah
     Contoh : Subekti, R.,  Hukum Perjanjian, Intermesa, Jakarta, 1998.
c.    Kata Abstrak dan Istilah dalam Kata Kuncinya.
Contoh :
      Abstrak

Reksa dana merupakan suatu alternatif baru bagi para investor dalam berinvestasi. Banyaknya investor yang masuk dan memilih reksa dana belum memahami betul apa itu reksa dana dan bagaimana perlindungan hukum bagi investor. Hal ini dikarenakan masih kurangnya informasi yang diberikan kepada calon pemodal tentang Reksa Dana. Kemudahan dalam berinvestasi membuat banyak investor memasuki investasi ini. Reksa Dana Kontrak Investasi Kolektif merupakan reksa dana yang pengelolaannya berdasarkan kontrak antara manajer investasi sebagai pengelola dengan bank kustodian sebagai tempat penitipan kolektif yang mengikat investor sehingga berpotensi menimbulkan permasalahan yuridis, misalnya wanprestasi terhadap kontrak dan pelanggaran terhadap Undang-Undang Pasar Modal No.8 Tahun 1995. Bentuk perlindungan terhadap Investor Reksa Dana adalah perlindungan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Perlindungan Hukum Pidana yang diatur dalam UUPM No.8 Tahun 1995 vide  pasal 103 sampai dengan pasal 110 serta perlindungan secara perdata yaitu perbuatan melawan hukum vide pasal 1365 KUH Perdata serta wanprestasi vide pasal 1243 KUH Perdata.
     
Kata Kunci : Reksa Dana, Investor, Manajer Investasi

  1. Format penulisan kalimat kutipan, foot note, dan Daftar Bacaan mengikuti format sebagaimana pada Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya.


Lampiran 1 :

RESUME SKRIPSI



PELAKSAAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
DALAM SENGKETA HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH







LOGO
UNIVERSITAS




PUTRA PURNAMA SENJA
NRP: 02109058






FAKULTAS HUKUM
 UNIVERSITAS NAROTAMA
SURABAYA
2010




Lampiran 2 :

LEMBAR PENGESAHAN



RESUME SKRIPSI


PELAKSAAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
DALAM SENGKETA HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH






PUTRA PURNAMA SENJA
NRP: 02109058




Surabaya, 27 September 2010

Disetujui oleh :
Dosen Pembimbing




Tutiek Retnowati, SH., MH.



Senin, 07 Februari 2011

Budaya Hukum

Peranan Kultur Hukum Dalam Penegakan Hukum
Penegakan hukum bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri, melainkan ia saling berkait dengan masalah-masalah sosial masyarakat lainnya. Artinya hukum bukan hanya sebagai sistem nilai, tetapi juga hukum sebagai sub sistem dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat dimana hukum diberlalakukan

Hukum sebagai suatu sistem
            Latar belakang pemahaman hukum sebagai suatu sitem tidak lain adalah agar kita dapat memahami hukum secara komprehensif, tidak sepotong-potong dan parsial. Makna dasar sistem yaitu :
  1. Selalu berorientasi pada tujuan;
  2. Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dan bagian-bagiannya;
  3. selalu berorientasi dengan sistem yang lebih besar;
  4. bekerjanya bagian dari sistem sosial itu menciptakan sesuatu yang berharga.
            Shrode dan Voich mendefinisikan sistem sebagian schorde a set of interreladed parts, working independently and jointly, in parsuit of common objective of the whole within a comply environment
            Dari urain diatas, schore dan Voich ingin memaparkan bahwa persoalan hukum itu rumit dan kompleks yaitu hukum bukan hanya sebagai sistem nilai, tetapi juga hukum sebagai sub sistem dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat dimana hukum diberlalkukan . Hukum sebagai sitem dapat dijabarkan bahwa hukum secara hirarkis dipayungi oleh norma dasar tertinggi (groundnorm) yang berperan memberi isi, substansi, dasar,norma-norma dibawahnya sehingga norma hukum tidak lain adalah penjabaran, break down dari groundnorm, :pancasila” dan norma hukum tidak boleh bertentangan dengan “groundnorm” “pancasila’
            Hukum sebagai sub sistem nasional, mengandung pengertian bahwa hukum bukan hanya sistem tunggal dalam masyarakat, berdiri sendiri, otonom independent melainkan bagian dari sub sistem sosial lainnya seperti ekonomi, politik, sosial, budaya dan konsekuensi hukum sebagai bagian dari sub sistem sosial lainnya tentunya terasa ganjil tidak lengkap tanpa memahami system sosial lainnya, tak bekerjanya sistem ekonomi mustahil hukum tegak dan sebaliknya rakyat tidak akan nyaman, aman, mencari penghidupan layak jika hukum tidak tegak.
Hukum sebagai sistem nilai sekaligus sebagai sub system dari sistem sosial sebenarnya menjabarakan bahwa hukum merupakan das sein dan das solen disisi lainnya antara das sein dan das sollen tidak mudah dipertemukan bahkan seringkali bertolak belakang dengan perilaku hukum masyarakat yang seharusnya. Sulitnya penyelarasan hukum sebagai “sein” dan hukum sebagai “solen” tidak terlepas drai faktor-faktor non yuridis yang hidup dan berkembang yang salah satunya dalah kultur hukum. Budaya sebagai produk masyarakat amat beragam dan berbeda tidak hanya masyarakat satu dengan lainnyapun berbeda sehingga akibat tingkatan-tingkatan sosial dalam lingkungan misalnya budaya hukum seorang pedagang dengan guru, sopir dengan pegawai dan sebagainya
L. Friedman menjabarkan komponen sistem hukum meliputi
1. strukur
2. substansi dan
3. kultur hukum.
Diantara ketiganya harus berjalan beriringan yaitu struktur harus kuat, kredibel, akuntabel dan capabel. Substansi harus selaras dengan rasa keadailan masyarakat sedang budaya hukumnya harus mendukung tegaknya hukum jika salah satunya timpang, misal struktur aparat (law unforercement officer) tidak akuntable, kredible dan capable mustahil hukum bias ditegakkan.

Komponen-komonen yang mempengaruhi penegakan Hukum
Hukum ditegakkan tidak melulu mempertahankan pola lama, “status quo” tetapi juga rekayasa sosial, mengalokasikan keputusan politik, penciptaan pola baru bahkan sebagai alat pengefektifan pencapaina tujuan nasional. Namun tujuan dan fungsi hukum itu seringkali tidak seperti yang diharapkan tiada lain karena banykany faktor baik yang berasal dari dalam sistem hukum maupun di luar sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Faktor berasal dari dalam sistem hukum seperti aparat yang tidak capable, kredibel dan akuntabel, poltik penguasa yang tidak mewakili rasa keadailan masyarakat artinya apa yang diinginkan oleh hukum berbeda dengan keinginan masyarakat. Roscoe pound menyebut dengan istilah kesenjangan Law in the books dan law in action. Chamblis dan Seidman menyebut “The Myth of the operation of the law to given the hie dailcy”
Terjadinya ketimpangan , diskresi antara hukum “solen” dengan hukum”sein” bias terjadi karena aparat penegk hukum sudah terwujud masyarakat beraksi menolaknya, dengan berbagai cara seperti memprotes, melanggar, bahakn tidak menghiraukannya. Faktor diluar sistem hukum berasal dari kesadaran hukum masyarakat dan perkembangan dan perubahan sosial, politik hukum penguasa, tekanan dunia internasional, maupun budaya hukum masyarakat.
Dengan kata lain hukum tegak jika seluruh komponen sistem hukum bekerja sama.  Namun jika salah satu absent, tidak bekerja sebagai sebagaimana mestinya apakah aparatnya, hukumnya maupun masyarakat. Maka hukum yang tegak hanya sebuah angan-angan belaka Aparat/legislator dianggap “absent” jika dalam law making process nilai-nilai masyarakat direduksi, disimpangi hasilnya hukum hanya menguntungkan golongan tertentu, kelas tertentu, persekutuan –persekutuan tertentu, penguasa, orang-orang kaya dan sebagainya. Dalam penegakannya (law inforcement process) aparat mudah disuap, dieli, suka menjungkir balikkan fakta, membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar.
Disisi lain masyarakatnya mengembangkan budaya yang tidak kondusif dan mendukung tegaknya hukum seperti main hakim sendiri, tidak bersahabat dengan aparat untuk mencegah penyimpangan, pengabaian hukum dan sebagainya, maka hakikat system sebagai keteraturan hanya mitos yang terjadi justru konflik dalam sistem hukum karena masing-masing komponen, elemen, sub system memilki kontribusi rapuhnya penegakan hukum, selain frieman, Sorjono Soekanto juga memaparkan beberapa factor yang mempengaruhi legendanya hukum, faktor hukumnya, penengak hukumnya, sarana dan prasarana, masyarakatnya dan budayanya.

Hukum dan struktur masyarakat
            Hukum dan masyarakat berhubungan secara timbal balik, karena hukum sebagai sarana pengantar masyarakat, bekerja di dalam masyarakat dilaksanakan oleh pula oleh masyarakat. Hubungan tersebut bisa bersifat simbiosis muatualistis yaitu mendukung tumbuh dan tegaknya hukum maupun sebaliknya bersifat parasitis, yaitu menghambat tumbuh berkembang dan tegaknya hukum. Emile Durkem menjabarakan hubungan fungsional anata hukum dan masyarakat dengan lebih dahulu mengelompokkan masyarakat menjadi dua yaitu “solidaritas organic dan masyarakat berbasis :solodaris mekanik”
            Masyarakat “solidaritas Mekanik” ciri khasnya adalah kebersamaan gotong royong dengan hukumnya yang represif, filosofis hanya dengan hukum yang menekan dan repressif kebersamaan dapat dipertahankan. Dalam masyarakat “solodaritas Organik” masyarakatnya individualis, mengutamakan kebebasan para anggotanya, sehingga hukumnyapun dibuat sesuai dengan keinginan, tujuan dan cita-citanya dan hasilnya hukum tidak lagi bersifat represif melainkan persuasive fasilitatif, proaktif dan restitutif. H.L.A Hart mencoba membaha altenatif tingkat perkembangan masyarakatyaitu “primary Rules of Obligation” dan “secondary Rules of Obligation” yang pertama bercirikan peraturan dalam masyarakat tidak begitu terperinci dan resmi tak mengenal diferensiasi dan spesialisasi badan penegak hukum karena habitat hukumnya adalah komunitas kecil dengan tingkat homogenitas yang tinggi baik aspek tujuan, kepentingan maupun orang-orangnya sehingga peraturan yang sederhana itu diras cukup menjamin keberlangsungan system sosialnya.
Type masyarakat kedua adalah sangat meninggiinya spesialisasi, disertifikasi di bidang hukum seperti apa saja yang merupakan “Rules of recognition” tata cara perubahannya “ rule of change” serta bagaimana sengketa diselesaikan “rules of adjudication” type ini. Sebagai konsekuensi masyarakat maju dan modern dengan masyrakatnya yang homogenitasnya rendah baik ras, etnis, pekrjaan, asosiasi, tujuan dan sebagainya.
Jadi dengan pentipologian masyarakat diharapkan hukum harus jeli, artinya hukum yang bagaimana yang cocok, bagaimana penegakannya agar sejalan dengan tingkat perkembanagan masyarakat itu, dengan kata lain hukum harus selalu siap untuk berubah menyesuaikan diri dengan masyarakat.
Pada dasarnya kelas yang tinggi “modern” dimana hubungan antar anggotanya lebih bersifat solidaritas organik, maka hukum tidak cukup dijalankan oleh intitusi informal, kepada adapt dan sebaginya tetapi memberikan perangkat yang jelas, tegas, rasional yang dibentuk khusu ubtuk itu yaitu birokrasi. Institusi inilah sebagai dynamo penegakan hukum. Dalam institusi ini masih dispesialisasi menurut kompetensi tertentu seperti masalah pidana, perdata, administrasi dan sebainya, namun di Indonesia tampaknya tidak seperti itu, artinya perubahan, perkembangan masyarakatnya titik puncaknya kerika kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, pada masa ini segala urusan yuridis dimodernisasi secara cepat dan kilat yang serba tertulis, bernilai universal dan territorial, tetapi masyarkatnya terabaikan.
Akibatnya hukum dan masyarakat terjadi paradok, senjang yaitu hukum relative modern, namun tidak didukung mayarakat yang modern pula, padahal konseusensi merenrapkan hukum modern tidak hanya sekedar transfer cetak comot sana, comot sini tetapi membutuhkan prasyarat-prasyarat tertentu seperti sumber daya manusia yang siap, terlatih, terdidik, berwawasan luas, berbudaya egalitarian, tetapi realitasnya budaya kita masih primordial, patriomonial maupun feodal. Akibatnya secara formal hukumnya modern namun substansi orangnya masih jauh dari katagori modern.
Fonemena ini merupakan kesalahan yang berawal dari paradigam revolutif “perubahan cepat” yang tergiur dengan peforma system Negara lain apakah itu system hukum, politik, sosial dan sebagainya missal dalam system poloto, sebelum kemerdekaan system politik bangsa Indonesia adalah kerajaan yang bersendikan “sendiko Dawuh” Sabdo Pandito Ratu” dalam menjalankan tugas. Intitusi pelaksanaannya tidak terlembagakan melainkan personal yaitu diembani oleh individu, seperti patih, tumenggung, adipati dan sebaginya. Setelah kemerdekaan realitas politik itu dipangkas, diganti dengan model system poltik modern yang terlembagakan seperti MPR, DPR, MA, BPK dan sebainya.
Menghadapi situasi dan model politik ini, tampaknya bangsa ini mengalami shock, kaget dn belum begitu siap mengapresiasikannya, akibatnya lembaga formal itu tidak mampu menjalankan fungsi sejati lembaganya. Di sisi lain aspek sosialnya juga mengalami revolusi guna menyelaraskan diri dengan aspek politiknya. Demokrasi tampaknya menjadi solusi, tetapi bangsa ini masih kaku, wagu dan tidak terampil memrankan demokrasi, alsannya demokrasi sebagai system sosial poltik bukan sesuatu yang instant, mendadak dan otodidak tetapi membutuhkan proses pendewasaan secara evolutif seluruh elemen bangsa (rakyat juga pejabat)
Pendewasaan itu meliputi aspek daya piker dengan sikap dan perlilaku yaitu perilaku egalitarian, penghormatan HAM, imbalan berdasarkan prestasi hubungan yang bersifat kontrak, sedangkan bangsa Indonesia masih bersifat feudal dengan budaya pengkedepana aspek geonolgis da ripada prestaasi sehingga demokrasi berjalan secara formal, secara substansi tetap feudal, patrimonial dan paternal.

Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Fungsi Hukum
Kehidupan manusia dewasa ini hampir tidak ada yang steril dari hukum, semua lini kehidupanpun dijamahnya, artinya hukum sebagai penormaan perilaku sangat penting agar perilaku masyarakat tidak menyimpang. Peran hukum sangat tergantung pada negaranya. Pada Negara berkembang hukum mengambil peran sebagai kontrol sosial sekaligus sebagai penggerak tingkah laku kearah tujuan nasional yaitu peningkatan kesejahteraan dan keadilan sosial. Agar perilaku masyarakat tidak berseberangan dengan hukum tentunya dibutuhkan kesadaran masyarakt secara total untuk patuh dan taat pada hukum. Kesadaran itu merupakan jembatan penghubung antara hukum dengan perilaku masyarakat.
Kesadaran hukum menurut Friedman terkait erat dengan budaya hukum masyarakatnya dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa tingkat kesadaran hukum masyrakat tinggi atau rendah dapat dilihat pada budaya hukumnya, jika budaya hukumnya cenderung posisitf, proaktif terhadaap cita hukum tentu masyarakatnya memilki kesadaran hukum yang tinggi. Dalam hal ini fungsi hukum mengalami perluasan yang mulanya sebagai kontrol sosial dan pemertahanan pola sosial bergesr e arah perubahan tingkah laku yang dikehendaki hukum. Jika demikian dapat digeneralisasikan bahwa tingkah laku masyarakat Negara dapat dilihat pada hukumnya, yaitu jika hukumnya bertujuan mengontrol dan mempertahankan pola hidup warga Negara tetap dan mapan dalam bertingkah laku. Hal senada dengan pendapat Lon. L Euller bahwa hukum itu sebagai usaha pencapaian tujuan tertentu dalam hal ini hukum berperan sebagai guide, patokan pedoman dalam pelaksanaan program pemerintah dengan kata lain hukum dijadikan alat pemulus pelaksanaan keputusan, program poltik, seperti halnya bangsa Indonesia menempatkan pembangunan sehingga program nomor wahid. Tentunya hukum pun dikondisikan untuk memperlancara, bahkan mengamankan pelaksanaan pembangunan. Oleh karena itu hukum berfungsi sebagai proteksi rakyat lemah terhadap kekuasaan politik penguas, kurang mennjol, untuk kalangan Negara berkembang dan sebaliknya yang menjadi hukum ditempatkan sebagai alat dan sarana kekuasaan politik dan hukumpun dapat diakatakan lebih dekat ke penguasa daripada ke pihak yang di lawan.
Oleh karena itu pula Negara-negara berkembang lebih banyak berhaluan semi otoriter daripada demokrasi. Dalam system semi otoriter hukum merupakan institusi sebagai wadah dimana kebijak-kebijakn pemerintah dikeluarkan, karena dengan sandaran hukum kebijakan pemerintah berjalan mulus, sah dan mempunyai legitimasi, tetapi pembuat dan pemakai kebijakan seringkali punya pandangan berbeda karena posisi kepentingan bahkan tujuan berbeda, artinya posisi pembuat lebih strategis daripada pemakai sehingga posisi tawarnya “bargaining positionnya pun lebih kuat untuk membuat kebijakn model apapun, hasilnya kebijakan itu lebih banyak memuat reperesantasi tujuan dan kepentingan pembuat daripada rakyat hingga dilapangan kebijakan seperti itu tidak dapat dioperasionalkan karena tereletak secara sosiologis.

Hukum modern dan budaya hukum
Konsepsi modern tentang hukum sebagai sarana pencapaian tujuan. Marc Galanter menegaskan hukum modern memilki ciri anta lain : Bersifat terirorial, tidak bersifat personal. Universalitas, rasional dengan menitikberatkan pada utilitas dari hukum untuk masyarakat sehingga berbicara hukum seringkali dikaitkan dengan realitas sosial dimana hukum itu tumbuh dan berkembang. Kenyataan tersebut memang tepat mengingat hukum harus sesuai dengan masyarakat dan sebaliknya hukum perlu menyesuaikan diri dengan kondisi perkembangan masyarakatnya.
Jika hukum yang dipaketkan penguasa politik terlalu modern dan jauh dengan masyarakat atau terlalu ketinggalan, maka hukum tersebut tidak dapat dioperasionalkan , tidak efekti, useless dan timpang, padahal kecenderungan sekarang hukum digungsikan sebagai penyalur, pedoman pengaman program, kebijaksanaan pemerintah yangberua peningkatan taraf hidup rakyat kearah yang lebih baik. Para elite cukup optimis terhadap fungsi hukum yang baru itu, karena para elit memilki asumsi jika hukum efektif mengarahkan tingkah laku manusia tentunya  berefek terhadap keberhasilan pembangunan. Namun akan gagal fungsinya jika manusia yang diantaranya tidak mentaatinya karena hukum dirasa asing tidak memasyarakat dan kurang mempresentasikan tujuan bersam. Oleh karena itu perlu ada kesepakatan bersama, karena jika hukum betul-betul mal-fungsi maka tidak hanya individu yang dirugikan tetapi juga pembangunan yang terhambat. Oleh karena itu Fuller mengajukan “delapan prinsip legalitas” dalam membuat hukum yaitu :
  1. harus ada peraturannya lebih dulu
  2. Peraturan itu harus diumumkan
  3. Peraturan tidak boleh berlaku surut
  4. Perumusan peraturan harus jelas, terperini dan dapat dimengeti setiap orang
  5. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hak-hal yang tidak mungkin
  6. diantara sesame perturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain
  7. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering dirubah-rubah
  8. Harus terdapat keserasian antara tindakan para pejabat hukum dan pertaturan yang telah dibuat
James C.N dan Clareme J dias mengatakan bahwa bilai yang terkandung dalam hukum nasional dengan nilai-nilai masyarakat lokal kerap kali terjai pendebatan dan pembedaan yang ujungnya adalah sulitnya pemahaman makna dan maksud hukum nasional oleh masyarakat lokal, hal ini terjadi karena sudut pandang dan nilai dasr penyusunan hukum tampaknya berbea antara legislator dengan masyarakat serta kurangnya para pemegang kebijakan melakukan survey, uji public terhadap nilai-nilai lokal, kebutuhan-kebutuhan lokal terutama masyarakat yang secara geografis jauh dan mungkin tak terjangkauoleh pengendali kebijakkan, hasilnya hukum dibuat terasa tidak bermakna dan bermanfaat bagi sebgaian besar rakyat tersebut. Oleh karena itu hukum mencegah mis-nilai antara pembuat dan pemakai. Mau tidak mau pemerintah maupun rakyat, LSM harus proaktif mengusahakan terbukanya saluran kominukasi dalam menerangkan dan menyelaraskan berbagai maksud dan tujuan pemerintah dalam undang-undang.

Hukum sebagai karya kebudayaan
Selo soemardjan dan Soelaiman Soemardi mendefinisikan kebudayaan sebagai hasil karya, rasa dan cipta manusia, karya dalam hidup manusia berwujud tehknomgi yang mempermudah hidup mansuai. Rasa merupakan dasra dari munculnya nilai-nilai kemasyarakatan dan cipta merupakan kemampuan mental emosional manusia untuk hidup beradap. Dalam arti luas kebudyaan merupakan serangkaian nilai-nilai yang hendak dicapai oleh sebuah komunitas tertentu, sekaligus juga sebagai way of life karena budaya juga memberikan pedoman arah hidup manusia. Budaya juga bias disebut dengan serangkaian system perilaku, yaitu serangkaian perilaku yang harus dan tidak boleh dilakukan oleh para pendukungnya. Dalam hal ini komunitas tertentu memilki gambaran abstrak perilakau yang layak dan tidak layak dilakuakan. Gambaran abstrak perilku tersebut kemudian diformulaasikan secara konkrit dalam berbagai tatanan hidup manusia melahirkan norma dimana hukum berada didalamnya disamping norma kesopanan, kesusilaan dan keagamaan. Jika demikain artinya hukum merupakan refeleksi tata perilaku komintas tertentu yang bersifat territorial, khas dan khsus, dalam arti hukum masyarakat satu berbeda dengan yang lainnya sehingga hukum kurang relevan menganut asas universalitas. Oleh karena itu pembuatan hukum, penerapan hukum harus pandai-pandai membaca, menganalisa realitas sosial mengingat hukum bukan saja sebagai formalisasi dan konkrtitasi perilaku masyarakat dalam bentuk deretan pasal-pasal melainkan juga jiwa masyarakat (Volkgeist) itu, serta hukum itu dibuat bukan untuk penguasa tetapi untuk rakyat. Oleh karena itu harus banyak-banayak mengkaca, membaca dan menganalisa relaitas sosial diman hukum itu akan diterapkan.

Komponen budaya hukum
Menurut Daniel S. Lev bahwa system hukum nenekankan pada prosedur namun kurang membahas cara hukum menyelesaikan masalah, sedangkan budaya hukum mengandung nilai procedural yaitu tata cara dan prosedur dalam mamanajemenisasi sebuah konflik dalam masyarakat dan nilai substansif berupaasas-asas fundamental tentang alokas, distribusi, penggunaan sumber-sumber dalam masyarakat terkait dengan adil dan tidak adil
Lawrensce M, Friedman memasukkan komponen kultur hukum dalam teori system hukumnya yaitu (1) struktur, (2) substansial dan (3) kultur. Struktur berwujud institusi, lembaga pembuat dan pengek berupa norma-norma terangkum dalam sebuah produk hukum sedangkan kultur adalah serangkaian nilai sikap perekat dana penentu dimana hukum itu beraktifitas.

Menuju Efktifitas hukum
Hukum diposisikan sebagai sarana pencapaian tujuan. Tujuan akan mudah dicapai jika hukum berlaku secara efektif dan sebalaiknay menjadi penghambat jika tidak efektif. Hukum dianggap efektif jika hukum mampu mengkondisikan dan merubah kualitas dan perilku masyarakat sesuai dengan prasyarat pembangunan. Oleh karena itu agar hukum dapat berlaku efektif, menurut Paul dan Dias harus memenuhi 5 syarat, yaitu :
  1. sulit tidaknya sebuah aturan dapat dipahami;
  2. luas tidaknya masyarakat yan tahu akan hal itu;
  3. efesien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum;
  4. Adanya mekanisme penyelesaian yang tidak hanya dapat diakses oleh semua orang tetapi betul-betul efektif menyelesaikan perkara;
  5. Adanya consesnsu pandanagan bahawa hukum itu betulbetul efektif

Dari uraan diatas intinya rakyat harus paham maksud dan tujuan dari suatu produk hukum, maka untuk mencapai satu kepahaman rakyat terhadap hukum tentu harus melalui kominikasi produk hukum itu.

Melembagakan Nilai Hukum Baru
Pemberlakuan undang-undang harus sama artinya memberlakukan nilai pola perilaku baru dan masyarakat diwajibkan melaksanakan nilai-nilai itu (pemegang peran). Di sisi lain masyarakatpun punya nilai tersendiri sebagai pedoman tingkah laku, oleh krena itu tidak jarang terjadi kontra produktif anatar nilai baru yang diusung pemrintah dengan nilai lama dan mapan di masyarakat. Untuk mencegah konflik nilai yang lebih jauh, maka harus ditempuh upaya pemahaman penyadaran nilai itu kepada masyarakatatau erlu adanya proses sosialisasi, internalisasi dan pelembagaan nilai dalam tingkah laku masyarakat.

Pembinaan Kesadaran Hukum
Permasalahan kesadaran hukum bukan masalah baru tetapi masalah hampir seluruh pelaksanaan politik negeri ini mulai Orla, Orba maupun masa transisi ini “reformasi” . Kesadaran hukum tidak hanya ditunjukkan keapda masyarakat yang dikatakan kurang sadar hukum, tetapi juga aparat penegek hukum turut serta memberikan konstribusi tingkat kuat lemahanya kesadaran hukum masyarakat. Secara terminologis kesadaran hukum “kadarakum” adalah keinsfaan masyarakat untuk bertindak berbuat sesuai ketentuan hukum. Kesadaran hukum dalam termonologisnya friedman termasuk kultur hukum yaitu serangkaian nilai yang mempenegrauhi bekerjanya hukum

Sikap moral : kunci kesadaran hukum
Chamblis dan sideman mengatakan masyarakat dalam proses bekerjanya hukum berposisi sebgai adresat “pemegang peran “ (role occupant). Masyarakat sebagai pemegang pera, diharapkan berperan sebagaimana yang dikehendaki oleh hukum. Seseorang berperan sesuai dengan kriterian hukum atau tidak ternyata banyak dikendalikan oleh faktor dalam system hukum mapuan diluar system hukum yaitu anggapan, persepsi masyarakat terhadap lazim disebut budaya hukum
Jika masyarakat menganggap bahwa hukum dipakekkan pemerintah kepadanya dirasa baik dalam menjalin keberlangsungan hidupnya, tentunya rakyat akan berperan sesuai hukum itu dan sebaliknya, jika hukum secara substansial merugikan ataupun tingkah laku masyarakatnya kurang taat, maka perlikau yang diharapkan sulit terwujud dan akhirnya muncul peran yang kontradiktif dan paradok terhadap hukum. Dari segi sosial, perilku yang menyimpang itu lebih disebabkan oleh moral (mores) yang tidak sejalan dengan kehendak hukum . Summer mengatakan bahwa moral masyarakat selalu berada lebih dulu daripada adanya hukum, sehingga dapat digeneralisasikan jika moral masyarakat baik, maka tingkat kepatuhannya terhadap hukum juga baik , tetapi jika moresnyapun buruk tentu perilakunya paradoks terhadap hukum. Agar perilaku sejalan dengan kehendak tertulis harus ada perubahan secara evolutif, perlahan dan bertahap serta berkesinambungan terhadap perilaku sosial masyarakat yang umumnya lewat saluran pendidikan khusunya pendidikan hukum.

Motivasi bertingkah laku
Dalam menghadapi nilai baru, perilaku sosial mayarakat cenderung menganut atau menyikapinya tergantung dari 3 faktor yaitu:
  1. Apakah norma itu sudah diketahui;
  2. Serasi tidaknya dengan perilku sosial setempat
  3. Apakah si pemegang peran digerakkan oleh motivasi yang menyimpang
Dari uraian sidemen tersebut ada bebrapa faktor yang menarik untuk dikaji selain faktor sosialisasi, sinkronisasi tetapi juga faktor psikologis yakni dorongan dari dalam untuk berkontribusi atau tisaj berkonfron terhadap nilai baru

Faktor penentu kesadaran hukum
Faktor penentu keadaran shukum masyarakat sanga tergantung pada isi hukum itu, sanksinya, akifitas para pelaksana hukum, serta keseluruhan faktor ekstrayurisdis yang berpengaruh terhadap bekrjanya hukum yang dipengaruhi oleh :
  1. peraturan hukumnya;
  2. badan pembuat undang-undang
  3. badan pelaksana hukum;
  4. masyarakatnya
  5. proses penerapan hukumnya
  6. komunikasi hukumnya
  7. faktor sosial poltik setempat;
  8. proses feedback antar komponen, dan satu lagi adalah sarana dan prasarana baik hardware maupun soft ware.
Soerjono Soekamto menganalisa efektifitas bekerjama hukum dari sudut yang agak berbeda yaitu :
  1. Perlunya pemberian teladan kepatuhan hukum oleh para pengek hukum;
  2. sikap yang tegas (zakelijk) dari aparat
  3. Penyesuaian perturan yang belaku dengan perkembangan tekhnologi mutkhir saat ini
  4. penerangan, penyuluhan mengenai peraturan yang sedang dan akan berlaku kepada masyarakat
  5. memberi waktu yang cukup kepada masyarakat untuk memahami peraturan itu

Pertimbangan Pembuatan Hukum
Pembuatan hukum itu merupakan suatu rencana bertindak. Dengan memperhatikan berbagai factor dalam kehidupan masyarakat, maka pembinaan kesadaran hukum tidak boleh dilakukan secara sepotong-sepotong, parsial. Melainkan memperhatikan berbagai factor yang terkait dengannya..
Oleh karena itu untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan usaha yang sistematis meliputi tekhnik-tekhnik perundang-undangan yang dipakai. Dengan harapan proses pertimbangan pembuatan hukum tersebut mampu mengakomodir nilai dan kehendak-cita-cita masyarakat atau cita-cita bersama.

Pembinaan kesadaran hukum
Pada dasarnya kesadaran hukum itu merupakan control; agar hukum dibuat dan dilaksanakan sebaik mungkin. Oleh karena itu perlu adanya usaha-usaha kearah pembinaan kesadaran hukum yang berorientasi kepada usaha-usaha menanamkan, memasyarakatkan dan melembagakan nilai-nilai yang mendasari peraturan tersebut.
Kesadaran untuk memerlukan hukum sebagai sarana yang disengaja untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki merupakan keinginan bersama sebagai sarana merealisasikan kebijaksanaa-kebijaksanaan Negara, dalam bidang ekonomi, politik, social budaya dan hankam sesuai dengan skala perioritas yang telah ditentukan