Senin, 25 April 2011

LARANGAN AHMADIYAH OLEH PEMERINTAH PROVINSI PERSPEKTIF HUKUM OTONOMI DAERAH

Oleh : Moh. Saleh, SH., MH.

Terjadinya berbagai tindakan anarkhisme terhadap penganut Ahmadiyah oleh sebagian kalangan pemeluk agama Islam menyebabkan beberapa Pemerintah Propinsi mengeluarkan regulasi pelarangan terhadap ahmadiyah. Pemerintah Provinsi Jawa Timur mengeluarkan regulasi dalam bentuk Surat Keputusan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Provinsi Banten dalam bentuk Peraturan Gubernur.
Segala tindakan Pemerintah Daerah (dalam hal ini Pemerintah Provinsi) haruslah didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), beserta perubahannya, sebagai pelaksanaan dari Sistem Pemerintahan Daerah yang diamanatkan oleh Pasal 18 – 18B UUD NRI 1945.
Sistem otonomi daerah dalam UU Pemda menerapkan sistem otonomi formil, bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah adalah di luar urusan pemerintahan yang terlebih dahulu telah ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (Winarno Surya Adisubrata, 1999 : 1-2).
Beberapa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat (3) UU Pemda, yaitu “Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah meliputi a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama”. Berdasarkan UU Pemda ini berarti urusan agama merupakan urusan pemerintahan yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat. Hal ini menujukkan bahwa pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap kehidupan dan kebebasan beragama merupakan wewenang Pemerintah Pusat yang tidak didesentrasikan atau didekonsentrasikan kepada Pemerintah Provinsi.
lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Pnps Tahun 1965 Tentang Penyalahguanaan dan/atau Penodaan Agama dan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Kejaksaan Agung dapat dinyatakan sesuai dengan prinsip hukum apabila mendasarkan pada sistem otonomi daerah yang diterapkan dalam UU Pemda, bahwa urusan agama merupakan wewenang Pemerintah Pusat. Keterlibatan negara dalam urusan agama ini dianggap sah sepanjang tidak ikut campur dalam masalah keyakinan keagamaan. Keterlibatan negara dalam urusan agama ini hanya sebatas pada fungsi menciptakan ketertiban dan ketentraman kehidupan beragama dan kerukunan antar ummat agama. Fungsi Negara dalam urusan agama ini dibatasi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945.
Berdasarkan sistem otonomi daerah yang dianut dalam UU Pemda inilah, maka sebenarnya Pemerintah Provinsi tidak berwenang untuk mengatur, membina dan mengawasi urusan agama. Lahirnya Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur dan Peraturan Gubernur Jawa Banar serta Peraturan Gubernur Banten dapat dikatakan bertentangan dengan sistem otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UU  Pemda. Urusan agama yang merupakan urusan Pemerintah Pusat secara jelas dalam UU Pemda tidak didesentrasikan ataupun didekonsentrasikan kepada Pemerintah Provinsi.
Adanya kontradiksi yuridis Lahirnya Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur dan Peraturan Gubernur Jawa Barat serta Peraturan Gubernur Banten dengan UU Pemda berimplikasi yuridis bahwa Surat Keputusan Gubernur maupun Peraturan Gubernur ini tidak bisa mendasarkan berlakunya pada UU Nomor 1 Pnps Tahun 1965 dan SKB tiga Menteri sebagaimana dinyatakan dalam masing-masing konsideran hukumnya. Pencantuman konsideran hukum terhadap UU Nomor 1 Pnps Tahun 1965 dan SKB tiga Menteri dapat dikatakan salah alamat atau tidak benar.
Dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c UU Pemda dinyatakan bahwa "Pemerintah Provinsi mempunyai wewenang dalam hal penyelenggaraan ketertiban dan ketentraman masyarakat“. Ketentuan ini sebenarnya dapat dijadikan dasar yuridis oleh Pemerintah Pronvinsi untuk mengatur ketertiban masyarakat di daerah provinsi akibat adanya potensi atau tindakan anarkisme terhadap jamaat Ahmadiyah tanpa memasuki ranah urusan keagamaaan yang merupakan urusan Pemerintah Pusat.
Apabila pelarangan Ahmadiyah di Daerah Provinsi memang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat, maka sebenarnya Pemerintah Provinsi masih mempunyai ruang yuridis untuk mengatur dan mengawasi pelaksanaan ketertiban dan ketentraman masyarakat terkait dengan adanya tindakan atau potensi tindakan anarkhisme terhadap jamaat Ahmadiyah di Daerah Provinsi ini berdasarkan Pasal 13 ayat (1) hurur C UU Pemda.
Pengaturan mengenai penyelenggaraan ketertiban dan ketentraman masyarakat ini merupakan pelaksanaan dari asas desentralisasi sehingga tidak bisa apabila diatur melalui Surat Keputusan Gubernur atau Peraturan Gubernur, akan tetapi harus diatur melalui Peraturan Daerah yang dibahas bersama dengan DPRD sebagai lembaga yang mewakili aspirasi dari masyarakat Daerah Provinsi secara keseluruhan. Surat Keputusan Gubernur atau Peraturan Gubernur ini hanyalah sebagai aturan pelaksanaan dan kedudukannya akan diakui serta mempunyai kekuatan hukum mengikat jika diperintahkan melalui Peraturan Daerah atau Peraturan di atasnya (Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
Berdasarkan analisis yuridis mengenai pelarangan Ahmadiyah inilah, maka dapat dikatakan bahwa Pemerintah Provinsi mempunyai wewenang untuk mengatur masalah ketertiban dan ketentraman masyarakat untuk mencegah tindakan anarkhisme terhadap jamaat ahmadiyah tanpa menyentuh urusan keagamaan yang merupakan ranah wewenang Pemerintah Pusat.
Lahirnya Surat Keputusan Gubernur dan Peraturan Gubernur Jawa Barat dan Peraturan Gubernur Banten dapat dikatakan bertentangan dengan sistem otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UU Pemda, apalagi dalam Konsideran hukumnya pemberlakukan Surat Keputusan dan Peraturan Gubernur tersebut didasarkan pada UU No. 1 Pnps tahun 1965 dan SKB tiga Menteri, tambah salah alamat.
Untuk mencegah terjadinya anarkhisme terhadap jamaat Ahmadiyah, Pemerintah Provinsi dapat mengaturnya melalui Peraturan Daerah Provinsi dengan mendasarkan pemberlakuannya terhadap UU Pemerintahan Daerah, tanpa memasuki ranah urusan keagamaan yang merupakan ranah wewenang Pemerintah Pusat. Bahkan menurut UU Pemda, Pemerintah Kabupaten dan Kota juga dapat mengaturnya juga untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat di daerah kabupaten atau kota melalui Peraturan Kebupaten atau kota sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf c UU Pemda.