Selasa, 09 November 2010

KEBEBASAN PEREMPUAN DAN FILOSOFI POLITIK


Perspektif baru ini tidak berdiri sendiri, namun kesinambungan antara proyek feminis tradisional dan kontemporer. Dalam melihat kebebasan, kaum feminis kontemporer mengambil alih kepentingan pendahulunya dalam hal kebebasan, keadilan, dan kesetaraan. Perhatian terhadap filsafat politik artinya bahwa kalangan feminis tak dapat menghindari kontroversi filosofis yang umumnya menyelimuti penafsiran yang tepat atas konsep tersebut. Rupanya, ketidaksetujuan yang berkepanjangan terhadap apa yang seharusnya dilihat sebagai kebebasan, keadilan, dan kesetaraan telah mengarah pada karakter konsep ini sebagai "permainan esensi". Banyak filsafat politik dipandang sebagai seri usaha yang berkelanjutan untuk mempertahankan konsep alternatif tentang kebebasan, keadilan, dan kesetaraan. Dalam perkembangannya, penafsiran idealisme mendesak perempuan menutut kebebasan dalam wilayah filsafat politik.

Hal itu ada akibat pelatihan. Dan lainnya sebagai sebuah usaha untuk me-"legitimasi" filsafat feminisme. Kalangan akademisi filsafat mencoba mendiskusikan isu feminis melalui istilah dan konsep yang lama dan umum. Secara berlawanan, diskusi di tingkat akar rumput kaum feminis non-akademisi berputar di sekitar masalah penindasan. Istilah ini telah melahirkan pertanyaan filosofis terkait dengan konsep penindasan dan kebebasan. Pertanyaannya: apakah sifat utama penindasan khusus terhadap perempuan itu? Apakah sifat penindasan itu berbeda-beda untuk masing-masing kelompok perempuan? Dapatkah perempuan sebagai individu menghapuskan penindasan itu? Jika perempuan yang ditindas, maka siapa yang menindasnya? Dapatkah pihak yang menindas tidak dikenal dan intensional? Dapatkah penindas mengalami penindasan? Dapatkan individu anggota kelompok penindas menahan diri untuk tidak menindas perempuan selama dia masih berada dalam kelompoknya? Untuk tiap pertanyaan tersebut kaum feminis kontemporer telah menyediakan jawaban yang meyakinkan.

Filsuf politik feminisme menggunakan kategori tradisional dan non-tradisional dalam menggambarkan dan mengevaluasi pengalaman perempuan. Dalam kasus ini, mereka sering melahirkan isu yang mungkin kelihatan asing bagi filsafat politik yang terbaru. Misalnya, mereka menanyakan tentang konsep cinta, persahabatan, dan seksualitas. Mereka membayangkan apa arti demokratisasi dalam pekerjaan rumah tangga dan perawatan anak. Bahkan, mereka menentang pandangan yang telah mengakar tentang kealamian hubungan seksual dan melahirkan anak. Tuntutan dan slogan mereka tidak akrab dan non-politis. Tuntutan atas "kendali terhadap tubuhnya", " penolakan menjadi obyek seks" dan "hak reproduksi". Mereka menyatakan bahwa "diri pribadi adalah politis".

Dengan fokus ini, teori-teori feminis menggali kemungkinan memasukkan kategori politik di wilayah keberadaan manusia yang sampai kini dipertimbangkan. Oleh karena itu, refleksi kaum feminis terhadap kesetaraan perempuan tidak hanya mempertimbangkan kesetaraan kesempatan dan perlakuan istimewa untuk perempuan di berbagai lapangan, namun ganjaran yang setara untuk kehidupan keibuan atau bahkan yang disebut sebagai ibu bayi tabung. Dalam pekembangan isu ini, kaum feminis kontemporer memberi arah bagi filsafat politik. Lebih sederhana, hal ini menyediakan jawaban baru atas persoalan klasik. Mereka berusaha menunjukkan bahwa masalahnya telah dipahami sendiri secara sempit. Dalam proses itu, kembali pada pemasalahan klasik atau masalah baru, feminisme kontemporer menyediakan ujian untuk memenuhi keberadaan teori-teori politik karena teori politik tradisional terlihat tidak memadai. Maka dimulai dengan cara alternatif mengonsep kembali realitas masyarakat dan kemungkinan politik. Dengan mencoba memperluas wilayah tradisional filsafat politik, maka feminisme kontemporer menantang keduanya baik keberadaan teori-teori politik maupun konsep filsafat politik itu sendiri.

Kaum feminis kontemporer menaruh perhatian tertentu sehingga membedakannya dari kalangan non-feminis dan feminis awal. Perhatian ini mengandung makna bahwa terdapat "pembagian kerja" sehingga segelintir feminis menjawabnya dengan perlawanan politik dan yang lain dengan cara lain pula. Sebagian feminis bekerja dalam wilayah perhatian yang umum dan lainnya aktif di kelompok kiri atau pengorganisasian massa. Beberapa di gerakan kulit hitam dan lesbian. Berbagai pekerjaaan dan pengalaman hidup kaum feminis kontemporer menghasilkan aneka persepsi tentang realitas sosial dan penindasan perempuan. Keanekaragaman ini merupakan sumber kekuatan bagi gerakan pembebasan perempuan. Gelombang awal feminisme kadang dilihat melalui refleksi atas pengalaman perempuan kulit putih dari kalangan menengah ke atas. Perempuan kulit putih kelas menengah itu ditonjolkan secara kuat dalam gerakan perempuan kontemporer. Namun, perspektif ini ditantang oleh pandangan yang mencerminkan pengalaman yang sangat berbeda dari perempuan kulit berwarna, perempuan kelas pekerja, dan sebagainya. Pengalaman yang sangat kaya dan beraneka ragam di kaum feminis kontemporer memberikan pandangan segar atas masalah penindasan terhadap perempuan dan menyajikan perspektif dan pernilaian baru bagi gerakan pembebasan perempuan.

Tidak selalu jelas, bagaimana pandangan dan perspektif baru itu seharusnya diterjemahkan kedalam teori femnis. Berpijak atas lokasi sosial yang berbeda, beberapa feminis mengalami aspek tertentu dari penindasan terhadap perempuan secara kritis, sementara yang lain dipengaruhi lebih cepat oleh aspek lainnya. Perbedaan persepsi atas penindasan itu sering dikembangkan melalui analisa sistematis yang dinilai berbeda satu sama lain. Misalnya, beberapa feminis yakin mendeklarasikan bahwa secara nyata perempuan ditindas oleh laki-laki. Yang lainnya, sedikit posisinya yang jelas. Mereka ditindas oleh laki-laki. Namun, penindasan khusus perempuan merupakan hasil dari sistem kapitalis. Meskipun mereka menggunakan istilah penindasan secara popular dan berusaha memutus hubungan munculnya pemikiran radikal, namun mereka berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki ditindas oleh "sistem peran seks". Jelas bahwa feminisme kontemporer mencakup berbagai teori yang berkaitan dengan penindasan dan pembebaan perempuan.

Keyakinan kita tentang sifat manusia mempengaruhi cara kita mengonsep realitas masyarakat. Sehingga, cara kita memahami dan mempelajari realitas tersebut memperngaruhi pandangan kita tentang sifat manusia. Konsekuensinya, teori feminisme dipandang lebih baik sebagai jaringan tuntutan yang normatif, konseptual, empirik dan metodologis daripada sebagai sistem yang deduktif. Sebagai jaringan, terkadang disebut sebagai paradigma atau cara menyeluruh memahami realita dikaitkan oleh kondisi sejarah tertentu dan mencerminkan kebutuhan material kelompok masyarakat tertentu.


Sumber bacaan : Alison M. Jaggar, Feminist Politics and Human Nature,  
                   Rowman & Allanheld, USA, 1983.

Senin, 08 November 2010

FEMINISME SEBAGAI FILSAFAT POLITIK


Dalam konteks tertentu, masalah feminisme selalu hadir, khususnya selama perempuan tetap tersubordinasi. Feminisme sendiri menentang proses subordinasi tersebut. Terkadang perlawanannya bersifat kolektif dan dengan penuh kesadaran. Namun, kerap pula perlawanannya bersifat sendiri-sendiri dan dengan setengah kesadaran. Perempuan hanya dilihat perannya secara sosial melalui kemalangan, kecanduan obat dan alkohol bahkan kasus kegilaan. Bagaimanapun dalam kurun waktu dua sampai tiga ratus tahun terakhir ini, hal itu telah menumbuhkan gerakan feminis yang nyata dan tersebar luas dan mencoba melakukan perlawanan dengan cara yang terorganisir menentang penindasan terhadap perempuan.

Pertama kali suara feminisme terdengar di daratan Inggris pada abad ke-17. Dua ratus tahun kemudian, lebih banyak suara mulai bicara secara berkelompok. Selanjutnya, terdengar pula di Perancis dan Amerika Serikat. Feminisme yang terorganisir muncul saat transformasi ekonomi-politik kapitalisme terjadi, yaitu ketika industri mulai berkembang di Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat yang mengadopsi sistem politik demokrasi perwakilan. Perubahan ekonomi dan politik secara drastis ini merubah situasi perempuan dan cara merasakan situasi tersebut. Kebanyakan perubahan ini merupakan hasil transformasi signifikan ekonomi dan politik keluarga.

Awal periode modern, proses produksi diorganisir melalui rumah tangga. Dan, kalangan keluarga bangsawan masih memiliki pengaruh politik yang penting meskipun sistem feodal telah digantikan oleh negara yang tersentralisir. Dalam keanggotaan keluarga, perempuan terjamin statusnya baik dalam proses produksi maupun pemerintahan. Meskipun demikian, status itu lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan kalangan bangsawan sangat menikmati kekuasaan politiknya melalui pengaruhnya terhadap keluarga mereka. Dan, perempuan yang telah menikah yang bukan dari kalangan bangsawan memiliki kekuasaan dalam bidang ekonomi di keluarganya karena proses produksi dikelola melalui rumah tangga.

Era praindustri, sebagian besar perempuan terintegrasi secara solid dalam sistem kerja produktif yang diperlakukan untuk kelangsungan hidup keluarganya. Masa ini, perawatan anak dan segala sesuatu yang kita kenal dengan pekejaan domestik hanya sebagian dari waktu kerja perempuan. Sebagai tambahan tugas domestik ini, sebagian besar perempuan memberi kontribusi penting untuk proses produksi pangan melalui beternak unggas dan lebah; membuat susu, menanam sayuran; mereka bertanggung jawab atas proses dan pengawetan pangan; memintal kapas dan wol lalu menjahit atau merajutnya menjadi pakaian; membuat sabun dan lilin, mengakumulasikan pengetahuan obat-obatan dan memproduksi ramuan tumbuh-tumbuhan yang manjur. Kontribusi penting perempuan bagi kelangsungan hidup masyarakat sangat jelas sehingga tidak ada alasan untuk mempertanyakan kembali tempat perempuan dalam masyarakat sebagai kenyataan alamiah.

Dampak industrialisasi, bersamaan dengan tumbuhnya negara demokrasi, meruntuhkan dan merombak total hubungan tradisional yang telah terumuskan oleh masyarakat praindustri. Industrialisasi mentransformasi keluarga dan mengacaukan posisi tradisional perempuan. Perempuan dari kelas yang lebih tinggi kehilangan kekuatan politiknya dengan kemunduran posisi keluarga aristokratis dan tumbuhnya negara demokrasi. Demikian pula perempuan dari kelas yang lebih rendah. Industrialisasi telah memindahkan kerja tradsional perempuan di rumah tangga ke pabrik. Sekalipun, banyak perempuan bekerja di pabrik khususnya awal periode industrialisasi. Kerja tradisional yang dimaksudkan ialah kontrol perempuan dikurangi pada industri vital seperti pengolahan makanan, tekstil, dan garmen. Penurunan kontribusi perempuan dalam rumah tangga kemudian meningkatkan ketergantungan mereka pada suami dan melemahkan kekuatannya berhadapan dengan suaminya.

Pada saat yang sama, perubahan ekonomi dan politik mengarah pada pembatasan status ekonomi dan politik perempuan. Hal itu memberikan janji tentang status baru perempuan. Salah satunya, tidak menyebutkan soal keanggotaan keluarga. Misalnya, pabrik dengan sistem upah dan kesempatan kerja dibuka untuk perempuan. Hal ini awal kemerdekaan ekonomi di luar rumah tangga yang terpisah dari suami. Demikian juga, idealisme demokrasi baru yaitu kesetaraan dan otonomi individu yang menyediakan dasar bagi perubahan anggapan tradisional tentang subordinasi perempuan oleh laki-laki. Hal yang bertentangan dari pembangunan ekonomi dan politik ialah bahwa posisi perempuan dalam masyarakat tak lagi sebagai kenyataan alamiah. Malah, perempuan, sebagaimana dimaksudkan kalangan Marxis dengan istilah "persoalan perempuan". Persoalan tersebut menunjukkan tempat perempuan dalam masyarakat industri yang baru dan banyak jawaban diajukan oleh kalangan feminisme yang terorganisir tentang itu.

Dalam dua atau tiga abad keberadaannya, feminisme yang terorganisir tak lagi bicara dengan suara tunggal. Sebagaimana feminisme awal muncul sebagai respon terhadap perubahan kondisi masyarakat Inggris abad ke-17, maka perubahan lingkungan sejak itu mendorong tampilnya tuntutan kalangan feminis. Misalnya, soal hak pilih dan keluarga berencana merupakan sasaran kampanye mereka. Sebagian besar kebangunan feminisme muncul akhir 1960-an dengan gerakan pembebasan perempuan. Gerakan ini melampaui semua gelombang feminisme sebelumnya, dalam memperluas konsentrasi dan kedalaman kritikannya. Gerakan itu lebih umum daripada gerakan feminis sebelumnya, yakni dengan sajian analisis yang multidimensi tentang penindasan terhadap perempuan dan melimpahnya pandangan mengenai pembebasan perempuan.

"Feminisme" berasal dari bahasa Perancis. Di Amerika Serikat, feminisme dikenal sebagai "gerakan perempuan" abad ke-19. Dalam arti, berbagai jenis kelompok yang semua tujuannya sejalan ataupun tidak, mengarah pada "kemajuan" posisi perempuan. Ketika istilah "feminisme" diperkenalkan ke Amerika Serikat awal abad ke-20, hal itu hanya merujuk pada kelompok khusus kegiatan yaitu advokasi hak asasi perempuan. Kelompok yang menegaskan keunikan perempuan, pengalaman misterius dari keibuan dan kemurnian khas perempuan. Ehrenreich dan Inggris menyebut trend dalam gerakan perempuan ini sebagai "romantisme seksual". Lawannya ialah kecenderungan dominan "rasionalisme seksual". Berseberangan dengan feminis romantis, maka feminis rasionalis seksual berpendapat bahwa subordinasi perempuan tak rasional bukan karena perempuan lebih lemah daripada laki-laki, melainkan menyangkut persamaan dasar antara perempuan dan laki-laki. Dalam konteks kini, makna "feminnisme" abad ke-19 telah menghilang. Sekarang, feminisme umumnya mengacu pada semua usaha yang mencoba, tidak peduli latar belakang nya, untuk mengakhiri subordinasi. Feminisme ini penggunaannya ditentang oleh beberapa aktivis seperti Linda Gordon. Oleh karena, kaum feminis menuntut agar usaha itu menyentuh tiap aspek kehidupan. Istilah feminisme membawa perubahan emosional yang kuat. Dalam beberapa hal, ada makna yang merendahkan namun ada yang menghargai. Pada gilirannya, beberapa orang menyangkal istilah "feminis" terhadap mereka yang menuntut dan yang memberikan kesetujuan pada pihak yang menerimanya. Teori mereka masih merupakan konsep keadilan. Dapat dikatakan bahwa teori feminis belum cukup kuat jika masih bersifat konseptual.

Gerakan pembebasan perempuan menjadi ragam pokok feminisme masyarakat Barat kontemporer. Beraneka nama gerakan demikian mencerminkan konteks politik asal kemunculannya dan kata-kunci yang membedakannya dari bentuk feminisme awal. Feminisme awal menggunakan bahasa "hak" dan "kesetaraan", namun feminisme akhir 1960-an menggunakan istilah "penindasan" dan "kebebasan". Istilah itu menjadi kata kunci untuk kalangan aktivis politik. Dalam perkembangan gerakan pembebasan (pembebasan kulit hitam, gay, pembebasan dunia ketiga, dsb.) tak terhitung nilainya bahwa feminisme itu menyatakan dirinya sebagai "gerakan pembebasan perempuan". Perubahan dalam bahasa merefleksikan suatu perkembangan pemikiran yang bermakna di dalam perspektif politik feminisme kontemporer.

Asal-usul istilah "penindasan" yaitu dari bahasa Latin yang artinya, "menekan atas" atau "menekan melawan". Maksudnya, seseorang yang ditekan mengalami pembatasan atas kemerdekaannya. Tidak semua pembatasan atas kemerdekaan individu bersifat penindasan. Seseorang tidak ditindas oleh fenomena alam yang sederhana, seperti kekuatan daya tarik bumi, salju, dan kekeringan. Malah, penindasan merupakan hasil perantaraan manusia. Secara manusiawi, itu memungkinkan pembatasan kemerdekaan terhadap seseorang.

Tidak semua sifat yang membatasi kebebasan seseorang adalah penindasan. Penindasan harus bersifat tidak adil. Andaikata anda berada di sebuah kapal bersama sembilan orang lainnya, hanya ada enam porsi makanan, lalu makanan tersebut dibagi secara demokratis untuk kesepuluh orang yang ada dengan bagian yang sama, dan anda tidak dapat makan makanan satu porsi penuh. Maka, anda tidak dapat mengatakan bahwa hal ini sebagai bentuk pembatasan kemerdekaan anda atau bentuk penindasan. Sepanjang anda menerima pembagian itu secara adil. Oleh karenanya, penindasan adalah ketiakadilan yang membatasi kemerdekaan individu atau kelompok.

Pembebasan ada hubungannya dengan penindasan. Pembebasan mewujudkan pembatasan atas penindasan. Jelas dari rumusan itu bahwa ada hubungan konseptual antara penindasan dan pembebasan. Di atas satu telapak tangan dan idealisme politik tradisional dari kemerdekaan dan keadilan pada sisi lainnya. Berbicara tentang penindasan dan pembebasan, tidaklah sederhana untuk memperkenalkan istilah baru kepada gagasan lama. Ketika konsep penindasan dan pembebasan dihubungkan secara konseptual pada dataran filosofis yang umum seperti kemerdekaan, keadilan dan kesetaraan yang tidak bisa direduksi tanpa kehilangan konsepnya. Pembicaraan tentang penindasan dan pembebasan tidak hanya memperkenalkan terminologi politik baru, namun sebuah perspektif baru dalam dunia politik. Sebuah perspektif menyaratkan kedinamisan daripada statis di masyarakat dan dipengaruhi oleh ide Marxis dari perlawanan kelas. Penindasan adalah beban pembatasan; yang menganjurkan bahwa masalah itu bukan hasil dari ketidakberuntungan, ketidaktahuan atau prasangka tapi lebih karena sebuah kelompok yang secara aktif mensubordinasi kelompok lain demi kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, berbicara masalah penindasan seperti komitmen para feminis menyangkut pandangan dunia yang mencakup sedikitnya dua kelompok dengan kepentingan yang berlawanan, antara penindas dan yang ditindas. Ada pandangan dunia yang menjelaskan bahwa perlahan-lahan pandangan dominan terhadap pembebasan bukan seperti yang dicapai oleh debat tradisional. Bahkan, kelompok menjadi hasil dari perlawanan politik.

Proses pelawanan lebih dari akhir penindasan yang mengadvokasi kebebasan dan karakterisasi yang lengkap dari tujuan akhir. Hal itu melemahkan usaha untuk merencanakan utopia, dengan menyusun konsep apa yang akan dibebaskan haruslah menjadi revisi yang terus-menerus. Pengetahuan alami manusia termasuk sifat manusia makin berkembang. Kita memperoleh lebih banyak pengetahuan menuju kemungkinan akan kebajikan manusia dan mempelajari bagaimana manusia bisa meraih itu melalui peningkatan kendali terhadap diri kita dan dunia. Kekeringan bukanlah kutukan Tuhan, melainkan hasil kegagalan untuk memperhitungkan konservasi air secara tepat. Penyakit dan kekurangan gizi tak lagi sesuatu yang tak bisa dihindari, melainkan hasil dari kebijakan sosial. Konsekuensinya, pembatasan yang dipandang sebagai kenyataan alami ditransformasi kedalam praktik penindasan. Secara bersamaan, wilayah kemungkinan kebebasan manusia diperluas. Pada prinsipnya, kebebasan bukanlah pencapaian akhir suatu keadaan melainkan proses eliminasi bentuk-bentuk penindasan yang muncul secara terus-menerus.

Sumber bacaan : Alison M. Jaggar, Feminist Politics and Human Nature,  
                   Rowman & Allanheld, USA, 1983.

Minggu, 07 November 2010

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI POST-MODERNISME (Kritik Atas Ideologi Liberalis-Kapitalisme dan Ideologi Sosialis-Komunisme)

Oleh :
Moh. Saleh, SH.,MH.


Lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak bisa dilepaskan dari aspek sejarah politik dan ekonomi global yang melatarbelakanginya. Sejarah politik dan ekonomi global tersebut sebenarnya telah menjadi inspirasi bagi founding father’s terbentuknya dasar negara Republik Indonesia yang disebut Pancasila yang kemudian dituangkan di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV sebagai dasar yuridisnya.
Tahun 1945 merupakan berakhirnya perang dunia (PD) II yang merupakan konfrontasi politik dan militer yang bersifat multipolar antara poros sekutu dengan Ideologi sekulerisme (poros Amerika Serikar, Inggris, Perancis dan Uni Soviet) melawan Ideologi Fasisme (Jerman, Jepang, dan Italia).
Akan tetapi, konfrontasi global yang sebenarnya telah lama berlangsung adalah adanya pertarungan ideologis antara negara-negara Liberalis-Kapitalisme dan Sosialis-Komunisme. Pertarungan ideologis tersebut akhirnya berubah menjadi ketegangan politik antara Blok Barat yang dipolopori oleh Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipolopori oleh Uni Soviat. Keduanya merupakan negara adikuasa yang berambisi untuk mengusai sistem politik dan ekonomi global. Ketegangan politik ini akhirnya berakhir pada perang dingin dengan ditandai runtuhnya Uni Soviet tahun 1991 sebagai simbol kekuatan negara Sosialis Komunisme.
Lahirnya dua ideologi besar dunia tersebut yang berasal dari para pemikir Eropa Barat sesungguhnya berakar dari dua pendekatan filsafat, yaitu [1] :
1.        Filsafat Idealisme (Philosofi of Idealism) yang mengedepankan faham rasionalisme dan individualisme. Di dalam kehidupan berpolitik faham ini telah melahirkan ideologi Liberalisme Kapitalisme. Ide yang menjadi kekuatan dasar menempatkan manusia sebagai pusat di alam semesta (centre of nature), manusia sebagai titik pangkal terjadinya perubahan sejarah. Faham ini kemudian melahirkan kontek hubungan antara Negara dan agama terpisah (separation). Akan tetapi di dalam kegiatan seremonial ritual keagamaan masih diberi peran. Sehingga pandangan ideologi liberalisme-kapitalisme ini telah melahirkan sekulerisme Moderat.
2.        Filsafat Materialisme (Philosofi of Materialism) yang mengedepankan faham emosionalisme berupa perjuangan kelas dengan kekerasan dan kolektivisme, yang dalam kehidupan berpolitik telah melahirkan ideologi Sosialis Komunisme. Ekonomi yang menjadi kekuatan dasar menjadi faktor penentu terjadinya perubahan sejarah. Sehingga ini melahirkan faham dalam kehidupan kenegaraan dalam kontek hubungan agama dan negara adalah dipertentangkan. Agama dianggap sebagai faktor penghambat, bahkan Karl Marx mengatakan religion is the opium of people, karena itu agama tidak diberiakan peran sama sekali. Pandangan kehidupan kenegaraan yang didasarkan pada ideologi sosialis komunisme melahirkan faham Sekulerisme Radikal. 
Ideologi liberalis kapitalis mencapai era keemasannya abad ke-19 (tahun 1815-1914). Negara-negara liberalis kapitalis bukan hanya kuat dalam bidang ekonominya, akan tetapi juga politik dan militer. Sehingga dengan ambisi imperiumnya telah banyak melakukan ekspansi terhadap negara-negara Dunia Ketiga. Masa keemasan ini tidak berlangsung lama, yaitu berakhir ketika meletusnya PD I tahun 1914. Akan tetapi, dengan semangat imperiumnya, negara-negara liberalis kapitalisme kembali membangun ideologinya pada abad ke-20 meskipun dengan beberapa perubahan sistem politik dan ekonominya, yaitu ditandai dengan disetujuinya GATT(General Agreement on Tariff and Trade) tahun 1947 di Havana. Kemudian disusul dengan dibentuknya IMF (Internasional Monetery Fund) dan IBRD (International Bank for Reconstruktion and Devolepment) tahun 1944 serta WTO (World Trade Organization) tahun 1994 di Marrakesh, Maroko.[2]
Sedangkan ideologi Sosialis Komunis menjadi kekuatan kedua di dalam peta kekuatan politik global yaitu ketika Uni Soviet mulai dipimpin oleh Vladimir Ilyich Lenin yang berkuasa selama 1917-1924. Lenin berhasil menerapkan Manifesto Komunismenya Karl Mark di tataran praksis. Sehingga ideologi yang dikembangkan Lenin tersebut disebut Marxisme-Leninisme. Akan tetapi, ideologi Sosialis Komunis ini akhirnya runtuh bersamaan dengan tumbangnya negara Uni Soviet pada tahun 1980-an karena mengalami kemerosatan ekonomi dan sebagai akibat produksi senjata dan ekspansi yang demikian agresif.
Kegagalan kedua idelogi besar dunia inilah pada dasarnya telah menjadi inspirasi yang sangat kuat bagi para founding father’s Indonesia dalam merumuskan dasar Negara berupa Pancasila yang tertuang di dalam alinea IV UUD 1945.
Alasan yang sangat mendasar atas kegagalan kedua ideologi besar dunia tersebut (Liberalis Kapitalis dan Sosialis Komunis) dalam menciptakan perdamian dan kesejahteraan masyarakat dunia adalah karena kuatnya respon negatif terhadap peran agama. Dimana Negara-negara Liberalis Kapitalis membatasi peran agama hanya dalam bidang ritual yang sifatnya pribadi. Faham ini kemudian melahirkan Sekulerisme Moderat. Sedangkan negara-negara Sosialis Komunis telah menganggap agama sebagai musuh yang menghalangi kemajuan politik dan ekonominya. Faham ini kemudian melahirkan Sekulerisme Radikal.
Jika melihat pelajaran atas kegagalan kedua ideologi besar dunia ini, maka sebenarnya politik hukum Indonesia yang sangat mendasar tidak terletak pada alinea IV pembukaan UUD 1945 pada kalimat yang berbunyi :
“….melindungi segenap  bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…..”
Akan tetapi politik hukum Indonesia yang sebenarnya dan sesunguhnya dan yang sangat mendasar adalah terletak pada Alinea IV UUD 1945 pada kalimat yang berbunyi :
“….dengan berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Rumusan ini merupakan dasar Negara Republik Indonesia yang disebut Pancasila. Di dalam rumusan Pancasila ini terdapat 5 (lima) sila, yaitu :
1.      Ketuhanan  Yang Maha Esa;
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3.      Persatuan Indonesia;
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratn /perwakilan; dan
5.      Keadilan sosial bagi seluruh rahyat Indonesia
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai nilai-nilai keseimbangan, yaitu Nilai Ketuhanan (Moral Religius), Nilai Kemanusiaan (Humanistik), dan Nilai Kemasyarakatan (Nasionalistik, Demokratik dan Keadilan Sosial).
a.       Nilai Ketuhanan (Moral Religius)
Konsep Ketuhanan ini tidaklah mengarah atau memihak kepada salah satu ajaran agama yang terdapat di Indonesia. Konsep Ketuhanan ini mengandung nilai-nilai universalitas yang imanen di dalam sifat-sifat ketuhanan. Dengan demikian, konsep ketuhanan ini tidak bicara tentang agama di dalam ruang ritual (hubungan antara manusia dengan tuhannya), akan tetapi bagaimana nilai-nilai ketuhanan yang universal tersebut dapat dijalankan di dalam ruang publik (hubungan manusia dengan sesama dan alam).
Yang dimaksud dengan nilai-nilai universalitas ketuhanan ini adalah nilai-nilai keadilan, persamaan, kemerdekaan, kebenaran, kasih sayang, perlindungan, kebersamaan, kejujuran, kepercayaan, tanggungjawab, keterbukaan, keseimbangan, perdamaian, dan lain-lainnya dari beberapa nilai yang imanen di dalam sifat-sifat Ketuhanan.
b.      Nilai Kemanusiaan (Humanistik)
Konsep kemanusiaan ini harus dapat memposisikan manusia tetap sebagai makhluk yang mempunyai hak-hak dasar yang alamiah. Adapun yang dimaksud dengan hak-hak dasar alamiah itu adalah hak untuk hidup, hak untuk berkarya, hak untuk berserikat, hak untuk berkeluarga, hak untuk memperoleh kebahagiaan, hak untuk berfikir, bersikap dan mengembangkan potensi.
c.       Nilai Kemasyarakatan (Nasionalistik, Demokratik dan Keadilan Sosial)
Konsep Kemasyarakatan ini merupakan sebuah keniscayaan adanya peran negara di dalam segala proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi peran negara tersebut bukanlah untuk negara, akan tetapi diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat yang didasarkan atas prinsip keadilan.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, maka negara harus dibangun di dalam sistem politik yang demokratis. Di dalam konsep demokrasi, rakyatlah yang mempunyai kedaulatan. Penguasa hanyalah sebagai mandataris dari titah yang diberikan oleh rakyat. Untuk mencegah munculnya penguasa yang otoriter, maka kekuasaan yang diberikan kepada penguasa harus dibatasi lewat konstitusi (demokrasi konstitusional).

Ketiga nilai keseimbangan yang terdapat di dalam Pancasila tersebut bersifat komulatif yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Sehingga ketiga nilai tersebut harus berjalan secara integral dan sistemik.
Berdasarkan urutan nilai keseimbangan di dalam Pancasila, bahwa yang menjadi pertimbangan utama di dalam merumuskan politik hukum di dalam setiap kebijakan kenegaraan harus didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan. Berikutnya yang kedua adalah aspek nilai-nilai kemanusiaan dan ketiga terhadap aspek nilai-nilai kemasyarakatannya. Akan tetapi ketiganya tetap dalam prinsip keseimbangan.
Atas dasar alasan sejarah politik dan ekonomi global yang melatarbelakangi inilah, maka Pancasila merupakan sebuah ideologi dunia yang mengkritik terhadap ideologi Liberalis Kapitalis dan Ideologi Sosialis Komunis yang mempunyai pandangan sekuler terhadap agama. Jika boleh dikategorikan bahwa Ideologi Liberalis Kapitalisme itu merupakan Tesis. Sedangkan Ideologi Sosialis Komunisme adalah sebagai Antitesis dari Ideologi Liberalis Kapitalisme. Sebagai sebuah hasil dari dialektika antara Tesis dan Antitesis tersebut maka lahirlah Sintesis, yaitu Ideologi Pancasila.
Meilihat ketiga nilai keseimbangan di dalam Ideologi Pancasila tersebut di atas, maka sebenarnya Konsep Demokrasi Modern sebenarnya telah dirancang oleh para founding father’s Indonesia sebagaimana dalam rumusan Pancasila dengan ketiga nilai keseimbangannya. Jika kita melihat tiga pilar Konsep Demokrasi Modern, di antaranya :
1.      Good Environment Governance
Konsep Good Environment Governance ini sebenarnya telah tercermin di dalam nilai ketuhanan. Dimana di dalam penyelenggaraan negara tidak hanya memperhatikan terhadap hubungan antara manusia dengan manusia, akan tetapi juga antara manusia dengan alam. Ini berarti konsep ketuhanan tersebut juga mengandung nilai untuk melindungi lingkungan hidup.
2.      Good Corporate Governance
Konsep Good Corporate Governance juga ini sebenarnya telah terkandung di dalam nilai kemasyarakatan yang berkeadilan sosial. Artinya perusahaan harus tidak saja memperhatikan tentang akumulasi modal dan alat-alat produksi, Perusahaan juga harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat dalam tanggungjawab sosial.
3.      Civil Society
Konsep civil society juga telah terkandung di dalam nilai kemanusiaan (Humanistik). Ini berarti Negara harus memberikan hak-hak dasar yang secara alamiah telah melekat pada diri manusia.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa lahirnya Ideologi Pancasila itu merupakan kritik keras terhadap hegemoni Ideologi Liberalis Kapitalisme dan Ideologi Sosialis Komunisme yang telah terbukti tidak bisa memberikan kedamaian dan kesejahteraan masyarakat dunia. Dengan demikian, Pancasila dapat disebut sebagai Ideologi Post-Modernisme. Karena berani mengkritik dan menentang terhadap kemapanan kedua Ideologi besar dunia, yaitu Ideologi Liberalis Kapitalisme dan Ideologi Sosialis Komunisme.
Tingginya cita-cita founding father’s ini rupanya tidak dibarengi dengan kemajuan ekomoni dan politik Indonesia. Sehingga kebesaran Ideologi Pancasila itu tidak bisa bersaing dengan ideologi dunia lainnya. Bahkan ironisnya, setelah runtuhnya ideologi Sosialis Komunis tahun 1980-an,  sikap politik dan ekonomi Indonesia menjadi ”bunglon” dalam kungkungan hegemoni Liberalis Kapitalisme. Sampai sekarang, Pancasila hanyalah tinggal nama yang telah tercerabut dari akarnya dan terombang ambing di dalam derasnya arus Liberalis Kapitalisme.
Melihat adanya pertarungan ideologis dalam percaturan politik dan ekonomi global yang melatarbelakangi perumusan dasar Negara RI, maka berani saya katakanan bahwa politik hukum Indonesia sebenarnya berada pada rumusan Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang berbunyi :
“….dengan berdasarkan kepada ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Rumusan ini merupakan rumusan Pancasila yang terdiri dari 5 (lima) sila. Sedangkan Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang berbunyi “….melindungi segenap  bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…..” hanyalah menjelaskan peran negara Indonesia di dalam melaksankan fungsi kenegaraan atau  yang lebih dikenal dengan negara kesejahteraan (werfarestate).





[1] Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat : Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2007, hal. 242-243
[2] Kartadjoemena, GATT dan WTO : Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, UI-Press, Jakarta, hal. 20-34